§ “Apakah
kau tahu logika dari system berdasarkan proses membayangkan dan menentukan
target-target (yang sengaja) lebih tinggi dari kemampuanmu?” Tanya Itamar, tapi
kemudian dia sendiri menjawabnya. “Kau menetapkan pikiranmu mengenai bagaimana
caranya menghasilkan lima puluh juta dolar, dan tiba-tiba kemungkinan
menghasilkan hanya dua atau tiga dolar menjadi relatif mudah, padahal jumlah
uang itu sudah lebih banyak daripada angka pertama yang kau tuliskan tadi. Pada
saat yang sama, sekali kau memutuskan bahwa kau ingin gelar Ph.D., maka kau
akan menjalani studimu seolah-olah kau memang sudah Ph.D. itu berarti bahwa,
bahan-bahan yang kau pelajari lebih mudah karena kau akan menjalaninya dengan
jalan pikiran bahwa kau sudah memahami semuanya.”
§ “Itulah
perbedaan antara seminar’membantu-diri-sendiri’ dengan seminar ‘cara orang
yahudi’, jika kita boleh menyebutnya demikian,” Fabio menyetujui. “Orang-orang
menyuruhmu untuk menetapkan sasaran-sasaran yang realistis dan memikirkan
cara-cara yang realistis untuk mencapainya. Gagasan dasar dari imajinasi orang
yahudi mengatakan : bayangkan hal yang
paling mustahil. Tetapkan sasaran-sasaran yang sangat tidak realistis, kemudian
pikirkan SECARA PRAKTIS mengenai bagaimana kau bisa mencapainya, karena
segalanya mungkin tercapai.”
§ “Segalanya
mungkin,” Itamar mengulangi. “Ada banyak orang yang menghasilkan uang melebihi
kebutuhan orang kebanyakan. Orang yang pada masa mudanya berjuang dan bersusah
payah mengumpulkan 300 dolar untuk biaya sewa. Mengirim manusia ke bulan pun,
awalnya dianggap tidak realistis, tapi kemudian engkau belajar terbang. Dan,
dari setiap usaha yang kau pelajari, kau belajar bagaimana caranya untuk
menginkatkan efisiensi dan kemampuan. Secara bertahap, pada akhirnya kau
berhasil membuat roket. Mungkin ini terdengar tidak mungkin, tapi nyatanya
manusia bisa mencapainya.”
§ “Itu
semua hanya tergantung padamu,” aku menyimpulkan.
~O~O~O~
§ “Siapa
pun orang yang dapat menyesuaikan diri terhadap penderitaan-penderitaan
emosional akan menjadi lebih waspada dan penuh perhatian terhadap
lingkungannya, sepaerti pepatah, ‘bertindaklah sebagai pribumi Roma ketika kau
berada di Kota Roma’.”
§ Aku
memikirkan apa yang dikatakannya, tapi beberapa hal masih belum jelas bagiku.
§ “Oke,
memang masuk akal bahwa kehidupan kota mendorong kita untuk berpikir dengan
cara tertentu untuk membantu kita mengatasi keadaan-keadaan yang sibuk dan
penuh hiruk pikuk. Tapi, seperti kita berdua, seorang akhirnya terbiasa juga
dengan kehidupan kota.”
§ “Itulah
tumit Achilles kita,” jawab Samuel.
§ “Maksudnya.”
§ “Mulai
terbiasa dengan banyak hal, dan merasa nyaman,” Samuel menjelaskan. “Pada
akhirnya seseorang akan terbiasa dengan semua hal, dan itulah yang menimbulkan
masalah terbesar terhadap perkembangan kepribadian dan intelektual kita.”
§ “Pelajaran
dari pengalaman-pengalaman pahit bangsa Yahudi, yaitu prinsip ketidaknyamanan. Secara umum, untuk mengembangkan
kecerdasan seseorang secara keseluruhan dan sukses dalam hidup, maka Anda JANGAN PERNAH MERASA PUAS ATAU MERASA SUDAH
MENCAPAI KENYAMANAN DAN KEAMANAN FINANSIAL! Anda harus berkembang setiap hari,
menjelajah secara fisik dan mental. Karena orang yang MERASA NYAMAN, PIKIRANNYA
AKAN BERHENTI BERFUNGSI. Saat sedang merasa nyaman, Anda akan MENERIMA semua
hal apa adanya. Anda BERHENTI MEMIKIRKANNYA. Ketika itu, Anda hanya sebuah
wajah di kerumunan, hanya mengikuti arus dan mengasumsikan bahwa jika semua
orang sudah memilih arah tertentu, maka pasti itulah jalan yang benar,” Samuel
berhenti sejenak. “Menarik,” aku menggumam.
§ “Anda
tahu,” ia melanjutkan, “Freud pernah memaparkan bahwa ia merasa sebagai orang
Yahudi, bukan karena tradisi atau kebanggaan nasional, namun karena dua
karakteristik yang ia rasakan lebih berharga dari pada emas-kemerdekaan
terhadap keyakinan sebelumnya sudah ada, yang sering kali menghalangi orang
untuk menggunakan kecerdasan mereka, dan kedua, menjadi oposisi terhadap yang
dilakukan oleh kaum mayoritas.”
§ Sebuah
mobil polisi dengan sirene meraung-raung melaju cepat melintas di jalan depan
kafe.
§ “Aku
sedang berpikir bagaimana semua ini bisa berguna untuk bisnis Jerome, lelaki
yang tadi kuceritakan pada Anda.”
§ “Apa
yang sedang dikerjakannya?” Samuel bertanya.
§ Lalu
kuceritakan juga mengenai toko pakaian Jerome.
§ “Dia
mencari nafkah dari situ?”
§ “Begitulah,
dia sudah punya penghasilan tetap. Pelanggan tetap. Dia memang tidak kaya dari
situ, tapi seperti yang Anda katakana, dia merasa nyaman melakukannya. Itulah
hidup.”
§ “Jika
dia sudah puas dengan rezeki hidupnya itu, berarti tidak ada yang perlu
dikatakan,” Samuel memulai. “Tapi kalau dia menginginkan lebih, maka ia harus
berubah.”
§ “Ia
sudah mencoba memikirkan beberapa ide baru,
namun tak juga diperolehnya.”
§ “Di
mana ia bekerja?” Samuel bertanya.
§ “Yerusalem”
§ “Lalu
di mana ide-ide dalam pikirannya itu akan dilaksanakan?”
§ “Di
Yerusalem, tentu saja,” aku tertawa
kecil karena pertanyaan mengada-ada ini.
§ Samuel
menggelengkan kepalanya. “Apakah Anda tahu mengapa kita duduk di sini
sekarang?” Ia bertanya, namun kemudian ia melanjutkan, “Karena beberapa
laki-laki yang tinggal di Yerusalem selama beberapa tahun sekarang kalah
taruhan. Mengapa dia kalah? Karena dia merasa sangat nyaman dan terbiasa dengan
kota itu, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk melihat banyak hal.”
§ “Apa
tepatnya yang ingin Anda katakana?” Aku tersenyum malu.
§ “Ternyata
indra Anda sudah ditumpulkan!” Ia kembali pada maksudnya. “Anda tidak mampu
lagi melihat hal-hal baru. Tidak dapat lagi berpikir secara kreatif mengenai
hal-hal baru. Ketika seseorang berada di suatu tempat dalam waktu yang terlalu
lama, berarti dia telah menciptakan rintangan-rintangan kognitifnya sendiri.
Orang itu tidak punya cukup rangsangan karena merasa sudah mengetahui segala
hal. Jadi, baginya tidak ada hal baru di bawah matahari. Panca indranya pun
menjadi tumpul. Ia perlu menjelajah dan pindah tempat.”
§ “Apakah
maksud Anda dia perlu membuka kantor lain di Tel Aviv?”
§ “Itu
akan membantunya, tapi tidak perlu sedramatis itu. Cukup jika ia mencari
gagasan di tempat lain. Logika di balik ‘pengembaraan’ adalah bahwa pergi ke
suatu tempat akan memberikan dampak pada kita dengan cara yang istimewa.”
§ “Eksperimen-eksperimen
yang dilakukan pada tikus di laboratorium menunjukkan ada perbedaan menarik
antara tikus yang menghabiskan sepanjang hidupnya di kandang yang sama dengan
tikus-tikus yang terus menerus berpindah tempat.”
§ “Tikus
yang ‘mengembara’ terus-menerus’ menemui lingkungan-lingkungan yang ‘kaya’,
artinya, rangsangan yang beragam dan selalu berubah : mainan, penghasil suara,
cahaya, bau-bauan, dan lain-lain. Hal ini membuat tikus pengembara memiliki
kecerdasan yang lebih tinggi. Analisis lebih jauh setelah mereka mati
mengungkapkan bahwa otak tikus-tikus pengembara lebih berkembang dalam beberapa
hal. Bagian korteks otak mereka, misalnya, lebih pekat dan lebih penuh
dibandingkan tikus-tikus yang tidak dirangsang, dan jumlah enzim-enzim tertentu
mereka pun ternyata lebih banyak,” papar Samuel, terdengar sangat professional.
§ “Aku
tidak terlalu mengerti yang barusan Anda katakan, tapi terdengar cukup
meyakinkan.” Aku mengangkat kelasku sedikit, menunjukkan tanda mengajak
bersulang.
§ “Selain
itu, di tempat yang baru akan ditemukan rangsang visual,” ia melanjutkan,
“untuk mampu menghadapi situasi baru, aktivitas-aktivitas tubuh memerlukan
mekanisme pertahanan. Pertahanan diri seperti menajamkan indra dan menaikkan
daya penerimaan terhadap rangsangan kreativitas. Memang, Anda tak perlu
berupaya keras mengusahakannya, naluri itu akan muncul secara alamiah.
Seseorang yang kembali dari luar negeri pasti mengerti perasaan itu.lihat saja
diri Anda. Ketika kembali ke Israel setelah sekian lama berada di luar negeri,
Anda akan merasa seperti orang yang mutakhir bukan? Anda merasa telah
mendapatkan pengalaman hidup karena telah melihat hal-hal baru; merasa lebih
pintar dan lebih berpendidikan, bukan begitu?”
§ “Anda
benar-benar memahaminya,” aku tersenyum malu.
§ “Harga
diri Anda juga meningkat,” ia melanjutkan, :karena Anda merasa bahwa untuk
hidup layak di Londonatau Paris, memerlukan upaya yang lebih sulit daripada
menetap di Givatayim atau Netanya?! Ketika kembali dari bepergian ke luar
negeri, Anda akan menjadi ‘lebih hebat’ secara mental dan metafisik. Tiba-tiba
ukuran keluasan menjadi sedikit berbeda.”
§ “Jadi,
ketika Anda merasa ‘kecil’, maka Anda perlu untuk pergi ke suatu tempat
beberapa hari?” Aku mencoba menyimpulkan apa yang sedang ia bicarakan.
§ “Tepatnya,
semua orang mengalami saat-saat mereka merasa terjebak, kurang efektif, atau
kurang kratif. Dalam keadaan seperti itu, seseorang kurang memiliki motivasi.
Masa depan tampak kelabu, seperti gerobak yang terjebak dalam lumpur tanpa kuda
untuk menariknya.”
§ “Keadaan
yang terkadang akrab kutemui.”
§ “Padahal
di sana ada seekor kuda. Kuda itu adalah ‘Kota Besar’. Tidak harus keluar
negeri. Atau kota lain di negeri ini. Poinnya adalah bahwa kau pergi ke tempat lain. Barangsiapa yang menginginkan ledakan
kreativitas dan kesuksesan, dia harus meninggalkan sarang
kenyamanan-kenyamanannya.”
§ “Seperti
lelucon lama, ‘Apa definisi spesialis?’” Aku bertanya tiba-tiba.
§ “Apa
definisi spesialis?” Semuel mengulangi.
§ “Spesialis
adalah orang yang datang dari luar kota.”
§ “Tepat
sekali,” ia tersenyum. “Senada pula dengan sebuah pepatah Yahudi, ‘tak ada Nabi
di kotanya sendiri.’ Seseorang tak dapat sukses di kotanya sendiri karena orang
sudah mengetahui kesalahan-kesalahannya. Hanya di tempat lain ia bebas dari
belenggu, atau pendapat yang sudah terlanjur terbentuk sebelumnya dalam
lingkungan sosialnya, atau, Anda menyebutnya kemampuan sejati. Orang Yahudi
yang sukses adalah mereka yang datang dari luar. Sebagai orang luar, maka Anda
bebas dari status quo, sehingga
memungkinkan Anda untuk mengambil risiko dan mencoba hal-hal baru.”
§ “Bahkan,
ada minuman keras baru yang diberi merek Outsider,”
aku menyela, spontan mengungkapkan ingatan. Tapi aku menyesal telah
mengatakannya. Dampak dari diskusi intelektual berjam-jam pun meminta korban.
§ “Senang
mendengarnya,” Samuel tersenyum menyindir, merasa akrab dengan yang
kubicarakan. “Tapi ada beberapa contoh nyata mengenai orang luar yang masuk
catatan sejarah,” ia melanjutkan, “Napoleon, Karl Marx, atau bahkan Hitler,
terkutuklah mereka.”
§ “Apa
yang kau maksud dengan ‘orang luar’?”
§ “Napoleon
Bonaparte, misalnya, dia bukan orang Prancis. Aslinya dia orang Italia yang
lahir dan dibesarkan di sebuah pulau, yaitu Corsica, dari orangtuanya
berkebangsaan Italia, hanya saja kemudian mereka pindah ke Prancis.
§ “Karl
Marx adalah orang Jerman yang pindah ke London, dan disanalah ia menulis
manifestonya yang kemudian disebut Marxisme oleh bangsa Uni Soviet yang
mengadopsinya. Marx sendiri bahkan belum pernah menginjakkan kaki di Rusia!”
§ “Hitler
pun sebenarnya orang Austria, bukan Jerman.”
§ “Tepat!
Sesuatu yang berusaha disembunyikan oleh bangsa Austria. Hitler sangat kecewa
kepada tanah kelahirannya sehingga berimigrasi ke Jerman untuk mencari
peruntungan di tempat baru. Di sanalah dia mendapat peruntungan besar. Sangat
besar.” Samuel merapatkan bibirnya. Ia menegakkan tubuh di kursidan melepaskan
batuk yang tertahan, “Dalam banyak kasus, berpindah tempat sangatlah penting.
Banyak orang gagal namun berhasil mencapai kesuksesan di tempat lain.”
§ “Dengan
kata lain, agar Jerome berpikir lebih positif dan kreatif mengenai alternatif
masa depan bisnisnya, maka dia harus pergi ke suatu tempat yang belum
dikenalnya.”
§ “Tepat,”
Samuel setuju, mengangguk tegas.
~O~O~O~
§ Samuel
memuji Jerome atas keputusan itu, member dia beberapa saran, kemudian bertanya,
“Apakah kau tau mengapa orang Yahudi selalu menjawab sebuah pertanyaan dengan
sebuah pertanyaan?”
§ “Mengapa
mereka tidak melakukannya?” Jerome tersenyum.
§ “Tentu
saja, semua orang tahu lelucon itu,” Samuel minta maaf. “Tapi serius, ada
sebuah filosofi yang mendasari hal ini. Kemarin Eran memberitahuku tentang
proyekmu. Dalam perjalanan kembali ke hotel, aku berpikir bahwa salah satu
prinsip dasar dari kecerdasan orang Yahudi adalah beban mereka yang lebih berat
saat belajar di sekolah. Semua orang memiliki hasrat dasar untuk ingin tahu dan
ingin memahami, tapi tidak semua masyarakat memasukkan pendidikan sebagai
prioritasnya. Dalam kebanyakan budaya, guru-guru kurang dihargai secara
personal maupun keuangannya, bahkan sedikit investasi yang diberikan untuk para
pelajar. Kebanyakan mereka beralasan tidak ada uang, tetapi andaikan ada, bagi
mereka lebih masuk akal memakai uang itu untuk memperbaiki ekonomi public bukan
investasi dalam bentuk buku-buku, ruang-ruang kelas, atau ‘kemewahan-kemewahan’
yang lain.
§ “Orang
Yahudi selalu melihat dunia dengan cara sedikit berbeda. ‘Jika kau tidak menderita karena sulitnya belajar,’ demikian Rabi
Moses Eben Ezra menulis, ‘maka kau akan
sengsara karena kebodohanmu.’ Orang dapat bertahan dengan atau tanpa
objek-objek materi, tapi tidak dengan kebodohannya.
~O~O~O~
§ “Engkau
benar,” Samuel tersenyum. “Terkadang, adalah hal yang baik ketika kita tidak
berpikir, jika seseorang memilih secara sadar untuk tidak berpikir. Tetapi,
memilih untuk ‘menderita’ atau tidak merupakan pilihan pribadi kita. Engkau
bebas memutuskan apakah memilih merasa bosan dengan pekerjaan memetik tomat,
atau ingin berinvestasi mengembangkan pikiran sekaligus memerangi kebosanan.
Jauh lebih mudah untuk pulang ke rumah daripada terus bekerja dan ‘menjernihkan
pikiran’ di depan televisi. Namun, jika kau memutuskan untuk membaca buku atau
mengambil kelas malam, maka dapat dipastikan bahwa otak dan tingkat
kecerdasanmu akan berkembang.” Lanjut Samuel sambil menempelkan kembali mug ke
bibirnya.
§ “Sampai
kita berumur tujuh puluh tahun, pada saat itu tak ada lagi yang bisa
membantumu,” tukas Jerome. (Aku tidak mengerti maksud dari perkataannya).
§ “Mhmhm”
Samuel nyaris tersedak ketika meneguk minumannya. “Usia tidak ada hubungannya
dengan hal itu.”
§ “Tidak
ada hubungannya?” Alisku terangkat, merasa heran dan ragu-ragu.
§ “Benar-benar
tak berkaitan,” Samuel menegaskan sambil menganggukkan kepalanya dengan
perlahan. “Engkau bisa belajar dan mengembangkan pikiran pada usia berapa pun.
Konon, Rabi Akiva masih buta huruf sampai dia berumur empat puluh tahun. Baru
pada usia itu ia mulai belajar membaca dari anak lelakinya. Robert Frost masih
menulis puisi dengan baik sampai umur sembilan puluhan. Dan, ngomong-ngomong
soal bisnis,” dia menunjuk ke arah Jerome, “Kolonel Sanders, pendiri Kentucky
Fried Chicken, salah satu jaringan makanan siap saji paling sukses di dunia,
baru mendirikan KFC dalam usia enam puluhan!”
~O~O~O~
§ “Berapa
kali kau melihat selembar plester menutup sebuah luka?” Samuel bertanya pada
Jerome. “Ribuan kali, bukan?
§ Jerome
mengangguk.
§ “Apakah
kau pernah menyisihkan beberapa waktu untuk mempelajari plester itu dan
bertanya, apa yang tidak masuk akal mengenainya? Kurasa kau belum pernah
melakukannya, karena tidak pernah benar-benar ada alas an untuk member
perhatian terhadap sesuatu yang dianggap sudah biasa dan sederhana semacam itu.
Dunia telah memiliki plester selama tujuh puluh tahun terakhir, namun baru satu
dekade terakhir seorang pria yang kubaca di Time
peduli untuk memperhatikan sesuatu yang memang sudah semestinya. Faktanya, semua
plester berwarna krem untuk meniru kulit kita. Selama enam puluh tahun, semua
orang, apapun kulit mereka, menggunakan plester dengan warna standar tersebut.
Mereka begitu saja menerima bahwa memang sudah seperti itulah adanya.
Membutuhkan waktu enam puluh tahun hingga seseorang datang dan berkata,
‘Mengapa kita tidak membuat plester dengan warna yang lebih gelap untuk mereka
yang berkulit gelap?’ Dan begitulah, baru satu dekade terakhir ini beberapa
perusahaan menembangkan konsep plester, dan membuat warnanya berbeda.
Bayangkan, enam puluh tahun!
§ “Sederhana,
tapi genius!” Aku berseru kagum.
§ “Membutuhkan
waktu ratusan tahun lamanya hingga pabrikan saus akhirnya bertanya pada diri
mereka sendiri, ‘Mengapa kita harus memukulkan pantat botol untuk mendapatkan dua
tetes kecil saus?’ Sehingga, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pabrikan
cerdas mulai membuat saus dalam sebuah botol plastik remas, yang berdiri
terbalik. Jutaan orang, apapun latar belakang mereka, akhirnya bisa menikmati
saus mereka dengan cara lebih mudah.” Samuel tersenyum.
§ “Perasaanku
mengatakan bahwa Anda ingin mengungkapkan sesuatu,” Jerome menyahut bijaksana.
§ “Tentu
saja. Aku ingin mengatakan padamu bahwa tidak ada alasan untuk membuang-buang
waktu dengan memulai sesuatu dari awal kembali. Penemuan-penemuan terhebat
manusia selalu hanya merupakan perkembangan dari yang sudah ada.
Perkembangan-perkembangan dalam artian bahwa mereka mengambil sesuatu yang
sudah ada dan membuatnya menjadi lebih sederhana, lebih mudah digunakan, dan
lebih efisien.”
§ Jerome
meraih wadah garam, dan mempelajarinya selama beberapa saat. “Coba kita lihat,”
ia memulai. Dibolak-balikannya wadah garam itu dan mengamatinya dari berbagai
sisi berbeda. :Sebaiknya dibuatkan lubang-lubang yang lebih besar pada wadah
ini, sehingga garam di dalamnya tidak terlalu sering menyumbat.”
§ “Lumayan,”
Samuel tersenyum.
§ “Dan
hal ini, entah bagaimana, kupikir ada kaitannya dengan kecerdasan Yahudi?”
Jerome bertanya.
§ “Kurang
lebih begitu,” Samuel menyahut. “Kita sudah membahas tentang bangsa Yahudi yang
memiliki dan mengembangkan kecerdasan
mempertahankan hidup. Kecerdasan itu
mengharuskan perhatian yang lebih seksama terhadap semua keadaan yang selalu
berubah di lingkungan mereka, mengembangkan kemampuan untuk cepat beradaptasi
terhadap segala perubahan, dan pemahaman dasar untuk jangan menerima segala
suatu sebagai hal yang memang sudah seharusnya. Singkatnya, bangsa Yahudi selalu berusaha menegakkan pikiran mereka
yang terbuka. Mereka memiliki perasaan yang sangat tajam berkenaan dengan apa
yang sedang terjadi di sekitar mereka. Pemikiran terbuka ini membuat mereka
memiliki sebuah pemahaman penting-tak perlu membuang-buang waktu dengan
melakukan sesuatu mulai dari awal kembali. Gunakan
saja cara yang paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khususmu.
~O~O~O~
§ “Sebagian
besar orang tidak berpikiran terbuka terhadap gagasan baru,” ujarku. “Jika dua
orang sedang mengobrol, akan Anda sadari bahwa kenyataanya kedua orang itu
hanya ingin mendengarkan perkataan dirinya sendiri. Aku pun terkadang masih
melakukan kesalahan itu.”
§ “Kita
semua memang begitu,” Samuel mengaku. “Konsep diri adalah, selalu merasa yang
paling berhasil dan paling benar, dan kebenaran kita adalah kebenaran absolute.
Itu masalahnya…” Beberapa saat dia tersenyum, dan kemudian melanjutkan,
“Sebagaimana yang dulu dinyanyikan oleh Frank Sinatra sang legenda, ‘I did it my way… and that was exactly a
problem.’”Samuel memberi tambahan pada lirik lagu itu.
§ “Lihatlah
para pekerja medis,” ia melanjutkan. “Sebuah pengobatan baru ternyata memerlukan
waktu dua puluh tahun untuk bisa sampai dan dapat digunakan oleh publik, yaitu
waktu lima tahun untuk mengembangkanya, dan lima belas tahun lagi untuk
meyakinkan para dokter agar menggunakannya.”
§ “Peliharalah
pemikiran terbuka,” Jerome meringkas.
§ “Berpikir
terbuka menghemat waktu, uang, dan usaha,” ujar Samuel. “Dalam pasar penawaran
dunia, kau tidak perlu berkeliling terlalu jauh untuk menemukan penawaran atau
gagasan baru. Ada pasar, bahkan berlimpah, tepat dibawah hidung semua orang.
Orang hanya perlu menunduk untuk tahu apa yang ada di sana, kemudian berusaha
mengembangkanya, meningkatkan mutu, atau mengambil apa yang mereka temukan di
tempat-tempat lain. Itu saja.”
~O~O~O~
§ “Tetapi
Anda sering bepergian jauh?” Jerome bertanya lagi, memperlihatkan
ketidaktahuannya tentang pemikiran seorang ayah.
§ “Rata-rata
dua kali sebulan. Aku berupaya untuk tidak lebih lama dari itu, walaupun
kadang-kadang tak terelakkan,” paparnya. “Aku pernah membaca tentang seorang
pengusaha Amerika yang diwawancarai, dia mengatakan bahwa keberhasilan didasarkan pada dua keputusan penting. Pertama, engkau
harus memutuskan secara spesifik apa yang
ingin kau lakukan. Kedua, kau harus menentukan berapa harga yang harus kau
bayar untuk keberhasilan keputusan tersebut. Terkadang, aku harus
membayarnya dengan tidak berkumpul dengan anak-anakku, tapi tidak apa-apa. Aku
tahu ada orang-orang yang jauh dari rumah selama berminggu-minggu. Aku pun
mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga jika lokasi pekerjaanku tidak terlalu
jauh. Saat ini, aku bekerja sedikit dan menghasilkan sedikit lebih banyak.”
§ “Itu
ambisi terbesarku,” Jerome menarik napas panjang. “Anda harus menceritakan
rahasianya.”
§ Dengan
wajah puas, Samuel menepuk bahu Jerome, “Kau bisa menghadiri puluhan seminar manajemen waktu, manajemen strategi efektif,
manajemen personalia, strategi pemasaran, dan sebagainya, tapi tetap pengalaman adalah guru yang terbaik. Tak
ada yang lebih pintar daripada orang yang belajar dari pengalaman.”
§ “Setuju.
Mungkin kau dapat melakukannya, tapi banyak orang yang benar-benar tak mampu
mewujudkannya menjadi kenyataan. Bukankah begitu?” Aku menjelaskan kepada
Jerome.
§ “Maksudnya?”
Tanya Jerome
§ “Apakah
kau sudah benar-benar belajar dari kemampuan orang lain?”
§ “Mengapa
tidak?”
§ Samuel
menengahi, “Karena berbagai alasan, kebanyakan
orang hanya belajar dari keberhasilan atau kegagalan dirinya sendiri, bukan
dari pengalaman orang lain. Bahkan, hal itu juga terjadi pada orang yang
diakui paling berhasil dalam mengubah dan mengadaptasi sesuatu, bahkan sampai
masa sekarang, masih saja berulang. Intinya adalah, sangat baik belajar dari pengalaman sendiri, tapi ingat, engkau sudah
kehilangan sesuatu yang tak sanggup kau ganti-waktu. Apakah aku benar?”
§ “Benar
sekali,” aku sepakat.
§ “Bayangkanlah
bahwa sudah ada satu cara untuk mempercepat kurva pembelajaran. Bayangkan jika engkau bisa mencapai sesuatu
dalam sekejap, padahal orang lain memerlukan perjuangan bertahun-tahun untuk
mempelajari sesuatu itu! Cukup dengan merekontruksikan kesuksesan orang lain,
tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkannya.”
§ “Kedengarannya
hebat.”
§ “Pikirkanlah
hal berikut ini,” lanjut Samuel dengan antusias. “Hasil luar biasa selalu dicapai dengan cara yang luar biasa. Maka,
yang harus kau lakukan adalah belajar
dari tindakan yang sama dan menerapkannya dengan cara yang sama pula.
Pertanyaannya bukan, mampukah aku mencapai kesuksesan yang sama. Tetapi,
bagaimana cara melakukannya. Kita sedang membicarakan strategi untuk
memilih orang yang tepat untuk dijadikan panutan.”
§ “Itulah
jenis imitasi yang sedang kita bicarakan, bukankah begitu?” Aku mengomentari.
§ “Bukan
sekedar imitasi, tapi lebih dari itu. Cara ini disebut replikasi, reproduksi
sebagai tujuan akhir. Engkau harus meniru semua perilaku subjekmu. Bagaimana
dia berbicara, bagaimana dia berpikir, bagaimana dia mengatur dirinya, serta
semua aktivitasnya.”
~O~O~O~
§ “Benar,”
Samuel merespons. “Tapi ada yang ingin kutambahkan, karena ide ‘temukan seorang
rabi untuk dirimu’ ada tambahannya dengan perspektif yang lebih penting.”
§ Dia
terus berjalan tanpa sepatah kata pun, lalu berpaling pada Jerome, “Apakah kau
pernah mengagumi seseorang? Maksudku bukan sekedar menghargai, tapi benar-benar
mengagumi!”
§ “Ada
dua orang,” dengan cepat Jerome menjawab. “Dr J., bintang basket Philadelphia
tahun 1967 dan Freddie Mercury, vokalis grup Queen.”
§ “Lalu
bagaimana kau mengungkapkan kekagumanmu?”
§ “Kutempelkan
poster mereka di dinding kamarku. Aku membeli buku tentang mereka dan membaca
autobiografi mereka, tentu saja, aku punya semua album Queen.”
§ “Apakah
engkau pernah melihat Dr J. bermain basket?”
§ “Tiga
kali”
§ “Apa
yang terjadi setelah setiap permainan?”
§ “Aku
pulang dan melemparkan beberapa bola untuk memompa semangat.”
§ “Apakah
engkau pernah melihat Freddie Mercury sedang konser?”
§ “Pernah
sekali, di Wembley.”
§ “Apakah
menyenangkan?”
§ “Sangat
menyenangkan,” gelombang nostalgia merasuki Jerome.”Aku merasa seperti berjalan
di atas awan dalam minggu itu.”
§ “Mengapa?”
§ “Mengapa?
Karena aku menyukai suara Freddie, dan dia adalah penyanyi yang sangat bagus.
Belum lagi lagu-lagunya yang hebat.”
§ “Mengapa
engkau menyukai lagu-lagunya?”
§ “Pertanyaan
macam apa itu?” Jerome menatap Samuel sejenak. “ Lagu-lagu yang sangat indah,
mereka menggerakkan aku.”
§ “Dan
bagaimana penampilannya memengaruhimu?”
§ Jerome
memikirkan pertanyaan Samuel beberapa saat. “ Kau tahu… Dia membuat suasana
hatiku menjadi baik. Aku merasa puas.”
§ “Apa
kau ingat dampaknya terhadap hal khusus yang kau lakukan minggu itu?”
§ Jerome
berpikir sebentar. Sebuah senyum perlahan mengembang di wajahnya, “Ya. Aku
mengikuti salah satu tes kemampuan di sekolah menengah. Bahasa Inggris. Aku
melewati tes tersebut dengan baik. Dan… aku sepertinya harus mengingat kembali…
Aku juga mendapat ide untuk mengencani seorang perempuan pirang cantik di tahun
ketiga kelas matematikaku. Namanya Allison Greenberg. Anda tahu mengapa aku
mengingat semua ini? Tidak, lupakan saja. Ini sangat memalukan.”
§ “Oh,
ayolah. Engkau tidak bisa berhenti sekarang,” desak Samuel.
§ “Aku
sangat ingin menjadi Freddie Mercury, dalam beberapa hal aku merasa benar-benar
sudah menjadi sia. Kubayangkan semua perempuan menginginkan aku seperti
gadis-gadis itu yang sangat menginginkan Queen. Kalian akan tertawa, tapi hal
ini benar-benar membantuku. Tiba-tiba kepercayaan diriku meningkat. Hal ini
cukup membuat gempar karena akhirnya Allison Greenberg mau kencan denganku.”
§ “Kemudian
apa yang terjadi dengannya?” Aku ingin tahu.
§ “Tidak
ada,” Jerome menundukkan kepala dan tersenyum malu. “Aku mencoba menyanyikan
lagu ‘We are the Champions’ dan
menyadari band kami bukan Queen.”
§ Samuel
menyebrangi jalan menuju sesuatu yang kelihatan seperti taman besar yang
sekelilingnya ditutupi oleh tembok besar.
§ “Itulah
yang sedang kita bicarakan,” katanya.
§ “Tapi,
Anda tahu, Anda benar sekali,” Jerome berseru nyaring. “Hal itu sangat
menginspirasi. Ya, sangat menginspirasiku.”
§ “Tentu
saja,” Samuel membenarkan. “Engkau telah terinspirasi. Engkau telah ‘menjadikan
dirimu seorang rabi’,” Samuel membuat tanda kutip di udara, “dalam arti
figurative karena Freddie Mercury bukanlah rabi. Bagaimanapun, lagu-lagu dan
kepribadiannya berpengaruh posituf padamu. Tepatnya, inilah yang sedang aku
bicarakan.”
§ Samuel
yang pertama masuk melalui gerbang kebun bertembok itu. Kami mengikutinya.
§ “Dari
perspektifku, ungkapan ‘jadikan dirimu seorang rabi’ berarti lebih dari sekadar
meniru seseorang. Engkau harus mencari orang yang akan menginspirasimu dalam
cara yang sama dengan apa yang terjadi padamu dan Freddie Mercury. Inspirasi menanamkan kepercayaan diri.
Membangunkan keyakinan dan kekuatan di dalam diri tanpa kita sadari. Membantumu
menjadi yang terbaik. Dengan kata lain, inspirasi adalah langkah awal,
inspirasi menjadi bahan bakar dan energi yang dapat kau gunakan ketika sesuatu
berjalan buruk. Seperti ketika kau ingin melempar bola basket dan ingin menjadi
Dr J. aku yakin malam itu engkau menyelami basket lebih daripada biasanya.”
§ “Anda
benar,” Jerome tersenyum bahagia.
§ “Aku
lemah dalam bermain piano,” Samuel mengaku. “Setelah menonton sebuah konser
yang bagus, aku pulang dan duudk di depan Steinwayku, sangat terinspirasi,
memijit tuts piano, sangat alami, simfoni seperti mengalir penuh dari
jari-jemariku.”
§ “Aku
sangat menyarankan untuk menggunkan sumber energy seperti itu. Sebuah sumber
inspirasi tidak selalu harus menjadi rabi. Bisa menjadi penulis, professor,
atau atlet. Intinya adalah bahwa seseorang itu haruslah orang yang kau kagumi
dan berprestasi.”
~O~O~O~
§ “Di
sekolah biasa, para siswa hanya duduk tenang di kelas mendengarkan gurunya,
atau di perpustakaan mengacak-acak buku atau makalah. Di yeshiva, para siswa
‘meletus’ dan ‘meledak’ dalam proses pembelajaran Taurat. Mereka akan
menggunakan segenap energi yang dimiliki dengan melibatkan seluruh organ tubuh,
dan yang paling utama adalah-bicara
keras-keras! Engkau harus menyuarakan dengan keras apa pun yang sedang kau
pelajari, sebenarnya pada saat itu kita sedang mengaktifkan kedua sisi otak,
meningkatkan daya penerimaan, konsentrasi, juga ingatanmu.”
~O~O~O~
§ “Apa
kau bilang? Maksudmu otakku kurang oksigen saat aku sedang duduk?” gurau
Jerome.
§ “Sebenarnya,
ya,” imbuh Itamar. “dan tidak hanya saat kau duduk. Jumlah oksigen di udara
sudah berkurang karena polusi. Saat ini, jumlah oksigen di daerah pusat kota
kira-kira 50%, dan 70% pada awal abad 20. Itulah sebabnya mengapa banyak
penduduk pinggiran kota yang menderita migren, alergi, mudah letih atau
penyakita lainnya. Semua itu mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berkonsentrasi, memperhatikan, dan berpikir pada tingkat tertentu. Agar mampu
berpikir lebih efektif, seseorang memerlukan oksigen lebih pada otak, dan cara
yang baik untuk mencapainya adalah dengan gerakan-gerakan fisik seperti
berjalan, berdiri, dan berenang yang meningkatkan aliran darah ke otak.
Beberapa orang bahkan menyarankan melakukan berdiri
dengan kepala sebelum belajar."
~O~O~O~
§ Itamar
berdiri dan bergerak mendekati Jerome. “sini, cobalah… ikuti instruksiku,”
Itamar memulai, “Coba tanganmu di samping.”
§ Jerome
meletakkan minumannya, menegakkan badan dan mengulurkan tangannya ke samping.
§ “Bagus.
Sekarang, angkat kepalamu dan tatap puncak pohon-pohon itu.”
§ Jerome
melakukan apa yang dikatakannya.
§ “Tersenyumlah.”
§ Jerome,
sangat terhibur dengan semua itu, dan dengan mudah menurutinya.
§ “Sekarang,
katakana dengan lantang, sambil tetap tersenyum, ‘Aku merasa buruk sekali. Aku
sedang dalam suasana hati yang buruk’.”
§ Jerome
menelan ludah, menarik napas dalam-dalam untuk menahan tawanya, dan sambil terus
tersenyum berusaha mengucapkan hanya, “Aku merasa bur…,” sebelum ia tertawa
terbahak-bahak.
§ “Kau
lihat,” Itamar terkekeh. “Kau tak bisa melakukannya.”
§ “Aku
benar-benar tak bisa,” Jerome mendesah sambil menghapus air matanya.
~O~O~O~
§ `”Untuyk
keperluanmu, Jerome, menyederhanakan
maksudnya adalah membaca secara teratur dan menulis ringkasan sederhanya. Petunjuk maksudnya kata kunci-kata kunci, tanda-tanda memori yang akan memberikan petunjuk
mengenai gagasan-gagasan lain, seperti tanda-tanda memori dalan Judaisme.”
Ia berhenti untuk minum…
§ “Apa
yang kau maksud tanda-tanda memori?” aku bertanya.
§ Schneiderman
berhenti sejenak untuk mencari contoh. Tiba-tiba sebuah gagasan muncul di
benaknya.
§ “Tanda-tanda
memori adalah alat bantu yang ketika kau melihatnya, maka kau akan mengingat
hal-hal lainnya.” Ia meluruskan badan dikursinya.
~O~O~O~
§ “Dalam
kitab Kuzari, Rabi Yehuda Halevi berbicara tentang ‘indra bersama’. Kuzari, Ibid, 90,84 (7). Indra ini memungkinkan
untuk mengairkan banyak hal dalam tempat dan waktu tertentu untuk memperbarui,
merangsang, dan membangkitkan memori. Misalnya, lidah mengindrai rasa dan mata
melihat berbagai warna. Lidah merasakan rasa manis madu meskipun tak dapat
meihat warna emasnya. Dan, meskipun mata dapat melihat warna, tapi tak dapat
melihat sensasi rasanya. Indra bersama, dengan katra lain, menjembatani jurang
antara indra-indra yang berbeda. Ketika mata melihat madu dan pikiran
memutuskan dapat melihat rasa manis sama halnya ketika mata melihat salju,
sensasi dingin mengirimkan getaran ke seluruh tubuh. Karena satu indra
merangsang indra yang lainnya maka gagasannya adalah menciptakan rantai ide atau kata kunci yang akan mendorong dari satu
kata kunci kepada kata kunci yang lainnya.” Ia berhenti untuk mengusap
mulutnya dengan saputangan. “Rabi Aryeh dari Modena menyarankan untuk menciptakan sebuah cerita bersama untuk
menghubungkan setiap kata.”
§ “Asosiasi
cerita,” aku menjelaskan kepada Jerome.
§ “Begitukah
caramu dapat mengingat semua kata kunci dari ringkasan Jerome?” aku bertanya
pada Schneiderman yang telah menjalin jari-jarinya dan meletakkan tangannya di
atas meja.
§ “Untuk
mengingat semua kemungkinan keuangan bisnis, aku membayangkan keseluruhan topik
tentang keuangan bisnis itu, dan aku melihat di depan mataku mesin ATM di
seberang bengkel kerja jahit bibiku di Bnai Barak,” ia berhenti untuk melihat
apakah kami mengerti yang ia bicarakan.
§ “ATM
mewakili keuangan, dan bengkel kerja jahit=bisnis,” Jerome menjelaskan sambil
tersenyum. “Luar biasa.”
§ Dan
Schneiderman menambahkan, “Sekarang aku membayangkan duduk di ruang depan
bengkel kerja jahit, di sebelah mesin ATM, ada warung berwarna cokelat terbuat
dari kain tebal dan kasar. mesin ATM itu tidak berfungsi. Ribuan keping koin
emas berjatuhan darinya, mengalir langsung ke karungku, yang tentu saja dengan
seraha sedang kupegangi erat-erat.”
§ “Tabungan
pribadi,” Rabi Dahari menjelaskan, meskipun dengan nada yang ditujukan kepada
dirinya sendiri.
§ “Karena
karung itu sangat berat, Shlomo, mitra, dan hevrutahku datang untuk membantu.
Dengan bantuannya aku mampu mengangkat karung itu dan kami mulai menyusuri
jalan ketika tiba-tiba kami dirampok.” Ia mengangkat tangannya ke kepala.
“Kemudian, dari sisi lain jalan itu, sangat tak terduga, seekor burung
manyar(vulture) besar menukik menuju kami, merebut kantung itu dan
melemparkannya pada sang pemiliknya. Jendral Grant, yang dengan cepat
menghilang membawa uang itu. Shlomo mulai mengejarnya namun dia tertabrak
mobil. Sehingga aku tinggal sendirian di sana.” Ia melipat tangannya, tersenyum
malu sambil menyandar di kursinya. “Begitulah semuanya terjadi.”
§ Kami
bertiga hanya bisa memandangi di terkagum-kagum
§ “Tampaknya
kau diberkati imajinasi yang luar biasa,” rabi terheran-heran.
§ “Sungguh,
Josik,” Jerome berujar dengan antusiasme yang terpancar pada suaranya, “Apa
yang kau lakukan menghabiskan waktumu di yeshiva. Kau seharusnya menulis naskah
Hollywood atau semacamnya. Kau bisa jadi Steven Spielberg dari komunitas
ortodoks.”
§ Pipi
pelajar muda itu pun memerahi seluruh kepalanya.
§ “Baik,
tapi kau harus mengakui bahwa cara ini memang berhasil,” aku berkata pada
Jerome dengan nada serius, hamper menuntut.
§ “Cara
beginikah yang selalu kau lakukan selaman ini?” Itamar bertanya. “Hal itu
membutuhkan imajinasi aktif dan banyak sekali usaha untuk mendapatkan cerita
yang sama sekali baru setiap waktu, belum lagi waktu yang diperlukan.”
§ “Sebenarnya,
tidak sama sekali,” Schneiderman mencoba menenangkan Itamar, “Aku sebenarnya
membayangkan semua itu pertama kali sejak kalian mendiskusikan topik-topik
itu.”
§ “Persoalan
utamanya adalah, bagaimana agar membiasakan teknik ini hingga menjadi kebiasaan
yang alami pada diri kita,”aku menambahkan berdasar pengalaman profesionalku
sendiri. “Sekarang ini, tampaknya memang butuh banyak sekali upaya mental, tapi
pada akhirnya hal itu dapat menghemat waktu dan memungkinkanmu untuk menguasai
materi yang lebih banya dalam waktu yang sedikit.”
§ “Tepat
sekali,” Schneiderman melanjutkan pemikiranku. “Karena sebenarnya kita sudah
menyimpan informasi itu di kepala dengan lebih teratur. Dengan cara ini maka
kau terbebsa dari keharusan mengkaji ulang materi tersebut berkali-kali agar
tertanam dalam memorimu. Sebuah cerita yang sangat kuat, maka hasilnya akan
luar biasa efektif.”
§ Itamar
masih sangat skeptic. Dia meoleh ke arah Jerome untuk melihat reaksinya.
§ “Jika
kau bertanya padaku, menurutku itu sepertinya cara belajar yang bagus sekali,”
Jerome berujar, seolah-olah menjawab apa yang sedang dipikirkan Itamar. “Tak
ada keraguan dalam pikiranku, aku akan mencobanya.” Ia tersenyum dengan wajah
puas.
~O~O~O~
§ “Dalam
traktat Sanhedrin tertulis, ‘ Setiap
pelajar Taurat yang tidak kembali padanya seperti orang yang menabur benih
namun tidak memanen hasilnya.’ Sanhendrin 79,1 (14). Semua yang sudah
dipelajari harus diulangi dan dibaca kembali berulang-ulang hingga terkuasai
sepenuhnya,” Schneiderman menjelaskan.
§ “Betul,”
Itamar setuju. “Pengulangan adalah salah satu elemen yang paling penting dalam
mengingat banyak hal untuk jangka waktu yang panjang.”
§ “Dalam
mempelajari Taurat,” pelajar itu melanjutkan. “Keseluruhan tujuannya adalah
pengulangan. Karena hanya dengan cara mengulang, sesuatu akan bertahan di
kepalamu. Jadi jika kau tidak menelaah kembali materi itu, kau tak akan menguasainya.
Jika kau tidak mengingatnya maka kau telah menyia-nyiakan waktu dan tenaga.
Sebuah pepatah mengatakan, ‘Seseorang
dapat mempelajari Taurat selama dua puluh tahun dan melupakannya dalam dua
tahun.’.”
§ “Itulah
mengapa,” Rabi Dahari menambahkan, “setiap tahun kami selalu mengulang dan
mempelajari kembali teks-teks suci. Setiap tahun kami kembali membahas setiap
bagian Taurat, Mishnah dan hukum kerabian. Setiap tahun, lagi dan lagi,
selamanya.”
§ “Demikian
pula hafalan,” Schneiderman melanjutkan, “Dapat diulang dengan menggunakan dua
metode berikut, pertama adalah, memberi dan menerima. Gagasan utama belajar
menghafal adalah memberi dan menerima, yaitu diskusi mengenai pertanyaan dan
jawaban, menjadikannya lebih efektif dengan mengulangi proses tersebut lima
kali sampai orang tersebut dapat melakukannya sendiri. Jika seseorang hanya
bisa belajar sendirian, maka belajarlah dengan suara lantang dan berlagu.
§ “Berlagu?”
Jerome mengulanginya. “Apa maksudnya? Kau harus menyanyikan materinya?” ia tak
percaya pada apa yang baru didengarnya.
§ “Begitulah
maksudnya,” pelajar itu membenarkan. “Dalam Megila dikatakan, ‘Siapa pun yangmembaca tanpa nada dan
membunyikan tanpa lagu, kalimat-kalimat itu tak akan menjadi hidup baginya.’,”
Dan kemudian ia melanjutkan, “’Orang yang
belajar dengan lagu akan mengingatnya lebih baik.’.”
§ “Kau
benar-benar belajar dengan menyanyi?” Jerome bertanya dengan keraguan yang
kental pada suaranya.
~O~O~O~
§ Itamar
mengayunkan tubuh ke depan dan ke belakang di kursinya, terlihat sedikit tidak
nyaman. Fakta bahwa hafalan masih harus diulangi membuat dia tidak nyaman. “Aku
tak mengerti,” ujarnya. “Jika kau dapat menggunakan imajinasi, menciptakan
simbol-simbol beserta kaitannya, dan membuat cerita-cerita, lalu mengapa masih
harus mengaji ulang semuanya… bagiku tampaknya itu membutuhkan waktu
bertahun-tahun! Mengapa tak hanya berlatih dan mengaji kembali catatan yang
sudah ada tiga atau empat kali dan selesai sampai sini? Menghafal dua puluh
buku menggunakan metode ini tampaknya merupakan sulit yang membutuhkan waktu
yang tak habis-habis… dan untuk apa?”
§ Schneiderman
terdiam, mencari penjelasa yang dapat meredakan kekhawatiran Itamar.
§ “Mungkin
bisa kujelaskan,” aku menawarkan diri. “MAteri-materi studi itu seperti
pemandangan. Ketika kau menatapnya, selalu ada banyak hal menarik perhatianmu,
apakah itu atap berwarna merah, pagar yang ditumbuhi tanaman, pohon, bukit… itu
adalah tanda dan isyarat-isyarat yang menarik perhatian matamu dan melekat
dalam memorimu. Ketika kau membaca sebuah tulisan, pilih kata kunci yang sesuai
dengan ide atau topik utamanya. Setelah itu catat daftar semua kata kunci itu
dan kaitkan sebuah cerita yang asosiatif. Memang terdengar rumit, namun kau
akan terkejut ketika kau sungguh-sungguh dapat mengingat ratusan kata-kata
dalam waktu satu jam! Kau mungkin tak percaya padaku saat ini karena kau belum
pernah mencobanya! Masalahnya di sini, kebanyakan pelajar di dunia melakukan
tepat seperti yang tadi kau katakan… mereka membaca dan mengkaji sesuatu
sepuluh atau dua puluh kali, lalu menyerahkan sisanya pada keberuntungan. Apa
pun yang mereka tangkap, dan apa yang tidak mereka tangkap, ‘oh, tak apa-apa,
setidaknya sebagian besar aku masih mengingatnya.’ Tapi itu adalah kesalahan.
Sedangkan, jika belajar menggunakan cara Joseph Hayim, kau menciptakan situasi
sehingga tak satu pun yang kau lupakan dalam ujian… maksudku bisa saja itu
terjadi, tentu saja, tapi tidak terlalu sering. Alasannya adalah, karena kau
bekerja secara sistematis. Setiap kata kunci mengingatkanmu pada ide tertentu
yang dapat kau uraikan dengan banyak kalimat dalam satu halaman… coba saja.”
Aku menyimpulkan penjelasanku.
§ “Otak
manusia memiliki ruang penyimpanan yang tak terbatas,” Schneiderman
melanjutkan, “Seperti laut tak bertepi yang mampu menyerap jutaan bahkan
miliaran ide dan konsep. Semua hal yang pernah kau lihat, dengar atau kau
pikirkan dalam hidupmu, semua ide… semuanya. Semua masuk ke dalam otak dan
menjadi bagian permanen dari memori. Semua ide itu dapat digali kembali bantuan
pompa memori yang secara harfiah digunakan ribuan kali dalam sehari. Terkadang
hal itu lebih sulit, terkadang lebih mudah, tergantung bagaimana seseorang
memasukkan informasi itu ke dalam memorinya sebagai hal yang penting, apakah
kau membiarkannya dengan sendirinya masuk ke dalam kepalamu, maksudnya
informasi itu menempatkan dirinya sendiri dalam laci secara acak, atau kau
menyimpannya dalam laci tertentu. Laci yang kau kunci dengan kunci khusus hanya
cocok dengan laci tersebut, itulah hubungan atau simbol yang aku bicarakan.
Semuanya terserah padamu.” Ia mengakhiri.
§ Tapi
kemudian ia menambahkan lagi pemikirannya. “Fakta bahwa itu merupakan pekerjaan
yang mungkin untuk dilakukan, tidaklah diragukan lagi. Seseorang dapat
mengingat begitu banyak hal dengan metode-metode ini… atau mungkin lebih baik
mengatakannya dengan cara lain. Satu-satunya keraguan yang ada adalah keraguanmu sendiri! Hanya keberatan mental
kita yang membebani dan membuat kita berpikir bahwa itu pekerjaan yang sulit.”
Ia berhenti dan menggelengkan kepalanya, “Sepeti yang tadi dikatakan Eran… coba
saja. Diperlukan latihan sampai hal itu menjadi kebiasaan alami. Seperti
belajar bahasa baru yang pada akhirnya akan menghemat waktumu dan secara nyata
mengurangi kaji-ulang yang perlu kau lakukan.”
§ Itamar
memutar-mutar jemarinya menganggukkan kepala. “Kau benar. Faktanya aku memang
belum pernah mempraktikkan itu. Dan kelihatannya saja memerlukan banyak usaha
untuk melakukannya. Tapi jika kau benar… mungkin aku hanya perlu mencobanya
satu kali.”
§ Jerome
menepuk bahu Itamar, “Tidak Itamar! Jangan mencobanya,” Jerome memperingatkan.
“Kau adalah seorang professor perguruan tinggi. Dinosaurus yang memiliki
jabatan. Banyak professor sebelum dirimu telah mencoba cara berpikir mereka,
dan mereka menderita cedera otak sampai hari ini.”
~O~O~O~
§ “Kalau
kau menggunakan metode Yahudi, yang harus kau lakukan adalah memasukkan
kata-kata bahasa Spanyol ke dalam percakapan sehari-harimu dalam bahasa
Ibrani.” Fabio menggosokkan kedua tangannya. “Sebagai contoh,” ia menggaruk
dagunya, “Mari kita lihat kata dinero, artinya uang dalam bahasa Spanyol.
Pikirkan berbagai kalimat dalam bahasa Ibrani di mana kau akan membicarakan
uang, namun ganti kata uang-nya dengan kata dinero.
§ “Berapa banyak dinero yang kau miliki? Aku perlu meminjam dinero $50. Satu-satunya hal yang harus kau perhatikan hanyalah dinero, dinero, dinero. Dia sangat
materialistis, dia orang kaya. Dia memiliki banyak dinero di bank..”
§ “Baiklah,
sekarang mari kita masukkan kata lainnya, humbre
artinya ‘orang’.”
§ “Benar-benar hombre yang baik hati. Dia menolongku meperbaiki mobilku… lihatlah hombre yang di sana… yang memakai topi
merah?”
§ “Kau tahu, hanya dengan melihat pakaiannya
aku bisa tahu bahwa hombre itu punya
banyak dinero,” Jerome
menimpali.
§ “Tepat
sekali! Begitulah gagasannya,” Fabio bersorak. “Setiap saat masukkan satu atau
dua kata ke dalam kalimat. Kaya adalah
rico dalam bahasa Spanyol.”
§ “Benar-benar hombre rico, dipenuhi berbagai kelebihan dalam hidupnya,”
Jerome memperlihatkan pemahamannya terhadap konsep itu.
§ “Qiero artinya ‘Aku ingin’. ‘Qiero kedamaian di dunia, Qiero kesehatan bagi kelurgaku, Qiero kue yang enak. Itulah yang benar-benar aku Qiero saat ini.”
~O~O~O~
§ “Kata
Spanyol piedro artinya batu. Maka,
yang harus kau lakukan adalah membayangkan bahwa kau menggosok batu sampai
menjadi bubuk. Gambaran batu menjadi bubuk inilah yang akan mengingatkanmu
kepada piedro. Carta adalah bahasa Spanyol untuk ‘huruf’. Apa yang kau ingat saat
mendengar kata carta?”
§ “Ensiklopedia
Encarta,” kata Jerome.
§ “Bagus
sekali. Jadi bayangkanlah dirimu menyimpan semua suratmu dalam ensiklopedia.
Bagaimana dengan bomber, bahasa
Spanyol untuk pemadam kebakaran. Asosiasi macam apa yang dapat kau ciptakan
dari sana?”
§ “Bom,”
jawab Jerome dengan cepat. “Sebuah bom menyebabkan kebakaran besar yang harus
dipadamkan segera oleh pemadam kebakaran,” ia menjabarkan gambarannya dengan
terburu-buru.