Monday, March 11, 2013

Rahasia kecerdasan Orang Yahudi


§  “Apakah kau tahu logika dari system berdasarkan proses membayangkan dan menentukan target-target (yang sengaja) lebih tinggi dari kemampuanmu?” Tanya Itamar, tapi kemudian dia sendiri menjawabnya. “Kau menetapkan pikiranmu mengenai bagaimana caranya menghasilkan lima puluh juta dolar, dan tiba-tiba kemungkinan menghasilkan hanya dua atau tiga dolar menjadi relatif mudah, padahal jumlah uang itu sudah lebih banyak daripada angka pertama yang kau tuliskan tadi. Pada saat yang sama, sekali kau memutuskan bahwa kau ingin gelar Ph.D., maka kau akan menjalani studimu seolah-olah kau memang sudah Ph.D. itu berarti bahwa, bahan-bahan yang kau pelajari lebih mudah karena kau akan menjalaninya dengan jalan pikiran bahwa kau sudah memahami semuanya.”
§  “Itulah perbedaan antara seminar’membantu-diri-sendiri’ dengan seminar ‘cara orang yahudi’, jika kita boleh menyebutnya demikian,” Fabio menyetujui. “Orang-orang menyuruhmu untuk menetapkan sasaran-sasaran yang realistis dan memikirkan cara-cara yang realistis untuk mencapainya. Gagasan dasar dari imajinasi orang yahudi mengatakan : bayangkan hal yang paling mustahil. Tetapkan sasaran-sasaran yang sangat tidak realistis, kemudian pikirkan SECARA PRAKTIS mengenai bagaimana kau bisa mencapainya, karena segalanya mungkin tercapai.”
§  “Segalanya mungkin,” Itamar mengulangi. “Ada banyak orang yang menghasilkan uang melebihi kebutuhan orang kebanyakan. Orang yang pada masa mudanya berjuang dan bersusah payah mengumpulkan 300 dolar untuk biaya sewa. Mengirim manusia ke bulan pun, awalnya dianggap tidak realistis, tapi kemudian engkau belajar terbang. Dan, dari setiap usaha yang kau pelajari, kau belajar bagaimana caranya untuk menginkatkan efisiensi dan kemampuan. Secara bertahap, pada akhirnya kau berhasil membuat roket. Mungkin ini terdengar tidak mungkin, tapi nyatanya manusia bisa mencapainya.”
§  “Itu semua hanya tergantung padamu,” aku menyimpulkan.


~O~O~O~


§  “Siapa pun orang yang dapat menyesuaikan diri terhadap penderitaan-penderitaan emosional akan menjadi lebih waspada dan penuh perhatian terhadap lingkungannya, sepaerti pepatah, ‘bertindaklah sebagai pribumi Roma ketika kau berada di Kota Roma’.”
§  Aku memikirkan apa yang dikatakannya, tapi beberapa hal masih belum jelas bagiku.
§  “Oke, memang masuk akal bahwa kehidupan kota mendorong kita untuk berpikir dengan cara tertentu untuk membantu kita mengatasi keadaan-keadaan yang sibuk dan penuh hiruk pikuk. Tapi, seperti kita berdua, seorang akhirnya terbiasa juga dengan kehidupan kota.”
§  “Itulah tumit Achilles kita,” jawab Samuel.
§  “Maksudnya.”
§  “Mulai terbiasa dengan banyak hal, dan merasa nyaman,” Samuel menjelaskan. “Pada akhirnya seseorang akan terbiasa dengan semua hal, dan itulah yang menimbulkan masalah terbesar terhadap perkembangan kepribadian dan intelektual kita.”
§  “Pelajaran dari pengalaman-pengalaman pahit bangsa Yahudi, yaitu prinsip ketidaknyamanan. Secara umum, untuk mengembangkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan dan sukses dalam hidup, maka Anda JANGAN PERNAH MERASA PUAS ATAU MERASA SUDAH MENCAPAI KENYAMANAN DAN KEAMANAN FINANSIAL! Anda harus berkembang setiap hari, menjelajah secara fisik dan mental. Karena orang yang MERASA NYAMAN, PIKIRANNYA AKAN BERHENTI BERFUNGSI. Saat sedang merasa nyaman, Anda akan MENERIMA semua hal apa adanya. Anda BERHENTI MEMIKIRKANNYA. Ketika itu, Anda hanya sebuah wajah di kerumunan, hanya mengikuti arus dan mengasumsikan bahwa jika semua orang sudah memilih arah tertentu, maka pasti itulah jalan yang benar,” Samuel berhenti sejenak. “Menarik,” aku menggumam.
§  “Anda tahu,” ia melanjutkan, “Freud pernah memaparkan bahwa ia merasa sebagai orang Yahudi, bukan karena tradisi atau kebanggaan nasional, namun karena dua karakteristik yang ia rasakan lebih berharga dari pada emas-kemerdekaan terhadap keyakinan sebelumnya sudah ada, yang sering kali menghalangi orang untuk menggunakan kecerdasan mereka, dan kedua, menjadi oposisi terhadap yang dilakukan oleh kaum mayoritas.”
§  Sebuah mobil polisi dengan sirene meraung-raung melaju cepat melintas di jalan depan kafe.
§  “Aku sedang berpikir bagaimana semua ini bisa berguna untuk bisnis Jerome, lelaki yang tadi kuceritakan pada Anda.”
§  “Apa yang sedang dikerjakannya?” Samuel bertanya.
§  Lalu kuceritakan juga mengenai toko pakaian Jerome.
§  “Dia mencari nafkah dari situ?”
§  “Begitulah, dia sudah punya penghasilan tetap. Pelanggan tetap. Dia memang tidak kaya dari situ, tapi seperti yang Anda katakana, dia merasa nyaman melakukannya. Itulah hidup.”
§  “Jika dia sudah puas dengan rezeki hidupnya itu, berarti tidak ada yang perlu dikatakan,” Samuel memulai. “Tapi kalau dia menginginkan lebih, maka ia harus berubah.”
§  “Ia sudah mencoba memikirkan beberapa ide baru,  namun tak juga diperolehnya.”
§  “Di mana ia bekerja?” Samuel bertanya.
§  “Yerusalem”
§  “Lalu di mana ide-ide dalam pikirannya itu akan dilaksanakan?”
§  “Di Yerusalem, tentu saja,”  aku tertawa kecil karena pertanyaan mengada-ada ini.
§  Samuel menggelengkan kepalanya. “Apakah Anda tahu mengapa kita duduk di sini sekarang?” Ia bertanya, namun kemudian ia melanjutkan, “Karena beberapa laki-laki yang tinggal di Yerusalem selama beberapa tahun sekarang kalah taruhan. Mengapa dia kalah? Karena dia merasa sangat nyaman dan terbiasa dengan kota itu, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk melihat banyak hal.”
§  “Apa tepatnya yang ingin Anda katakana?” Aku tersenyum malu.
§  “Ternyata indra Anda sudah ditumpulkan!” Ia kembali pada maksudnya. “Anda tidak mampu lagi melihat hal-hal baru. Tidak dapat lagi berpikir secara kreatif mengenai hal-hal baru. Ketika seseorang berada di suatu tempat dalam waktu yang terlalu lama, berarti dia telah menciptakan rintangan-rintangan kognitifnya sendiri. Orang itu tidak punya cukup rangsangan karena merasa sudah mengetahui segala hal. Jadi, baginya tidak ada hal baru di bawah matahari. Panca indranya pun menjadi tumpul. Ia perlu menjelajah dan pindah tempat.”
§  “Apakah maksud Anda dia perlu membuka kantor lain di Tel Aviv?”
§  “Itu akan membantunya, tapi tidak perlu sedramatis itu. Cukup jika ia mencari gagasan di tempat lain. Logika di balik ‘pengembaraan’ adalah bahwa pergi ke suatu tempat akan memberikan dampak pada kita dengan cara yang istimewa.”
§  “Eksperimen-eksperimen yang dilakukan pada tikus di laboratorium menunjukkan ada perbedaan menarik antara tikus yang menghabiskan sepanjang hidupnya di kandang yang sama dengan tikus-tikus yang terus menerus berpindah tempat.”
§  “Tikus yang ‘mengembara’ terus-menerus’ menemui lingkungan-lingkungan yang ‘kaya’, artinya, rangsangan yang beragam dan selalu berubah : mainan, penghasil suara, cahaya, bau-bauan, dan lain-lain. Hal ini membuat tikus pengembara memiliki kecerdasan yang lebih tinggi. Analisis lebih jauh setelah mereka mati mengungkapkan bahwa otak tikus-tikus pengembara lebih berkembang dalam beberapa hal. Bagian korteks otak mereka, misalnya, lebih pekat dan lebih penuh dibandingkan tikus-tikus yang tidak dirangsang, dan jumlah enzim-enzim tertentu mereka pun ternyata lebih banyak,” papar Samuel, terdengar sangat professional.
§  “Aku tidak terlalu mengerti yang barusan Anda katakan, tapi terdengar cukup meyakinkan.” Aku mengangkat kelasku sedikit, menunjukkan tanda mengajak bersulang.
§  “Selain itu, di tempat yang baru akan ditemukan rangsang visual,” ia melanjutkan, “untuk mampu menghadapi situasi baru, aktivitas-aktivitas tubuh memerlukan mekanisme pertahanan. Pertahanan diri seperti menajamkan indra dan menaikkan daya penerimaan terhadap rangsangan kreativitas. Memang, Anda tak perlu berupaya keras mengusahakannya, naluri itu akan muncul secara alamiah. Seseorang yang kembali dari luar negeri pasti mengerti perasaan itu.lihat saja diri Anda. Ketika kembali ke Israel setelah sekian lama berada di luar negeri, Anda akan merasa seperti orang yang mutakhir bukan? Anda merasa telah mendapatkan pengalaman hidup karena telah melihat hal-hal baru; merasa lebih pintar dan lebih berpendidikan, bukan begitu?”
§  “Anda benar-benar memahaminya,” aku tersenyum malu.
§  “Harga diri Anda juga meningkat,” ia melanjutkan, :karena Anda merasa bahwa untuk hidup layak di Londonatau Paris, memerlukan upaya yang lebih sulit daripada menetap di Givatayim atau Netanya?! Ketika kembali dari bepergian ke luar negeri, Anda akan menjadi ‘lebih hebat’ secara mental dan metafisik. Tiba-tiba ukuran keluasan menjadi sedikit berbeda.”
§  “Jadi, ketika Anda merasa ‘kecil’, maka Anda perlu untuk pergi ke suatu tempat beberapa hari?” Aku mencoba menyimpulkan apa yang sedang ia bicarakan.
§  “Tepatnya, semua orang mengalami saat-saat mereka merasa terjebak, kurang efektif, atau kurang kratif. Dalam keadaan seperti itu, seseorang kurang memiliki motivasi. Masa depan tampak kelabu, seperti gerobak yang terjebak dalam lumpur tanpa kuda untuk menariknya.”
§  “Keadaan yang terkadang akrab kutemui.”
§  “Padahal di sana ada seekor kuda. Kuda itu adalah ‘Kota Besar’. Tidak harus keluar negeri. Atau kota lain di negeri ini. Poinnya adalah bahwa kau pergi ke tempat lain. Barangsiapa yang menginginkan ledakan kreativitas dan kesuksesan, dia harus meninggalkan sarang kenyamanan-kenyamanannya.”
§  “Seperti lelucon lama, ‘Apa definisi spesialis?’” Aku bertanya tiba-tiba.
§  “Apa definisi spesialis?” Semuel mengulangi.
§  “Spesialis adalah orang yang datang dari luar kota.”
§  “Tepat sekali,” ia tersenyum. “Senada pula dengan sebuah pepatah Yahudi, ‘tak ada Nabi di kotanya sendiri.’ Seseorang tak dapat sukses di kotanya sendiri karena orang sudah mengetahui kesalahan-kesalahannya. Hanya di tempat lain ia bebas dari belenggu, atau pendapat yang sudah terlanjur terbentuk sebelumnya dalam lingkungan sosialnya, atau, Anda menyebutnya kemampuan sejati. Orang Yahudi yang sukses adalah mereka yang datang dari luar. Sebagai orang luar, maka Anda bebas dari status quo, sehingga memungkinkan Anda untuk mengambil risiko dan mencoba hal-hal baru.”
§  “Bahkan, ada minuman keras baru yang diberi merek Outsider,” aku menyela, spontan mengungkapkan ingatan. Tapi aku menyesal telah mengatakannya. Dampak dari diskusi intelektual berjam-jam pun meminta korban.
§  “Senang mendengarnya,” Samuel tersenyum menyindir, merasa akrab dengan yang kubicarakan. “Tapi ada beberapa contoh nyata mengenai orang luar yang masuk catatan sejarah,” ia melanjutkan, “Napoleon, Karl Marx, atau bahkan Hitler, terkutuklah mereka.”
§  “Apa yang kau maksud dengan ‘orang luar’?”
§  “Napoleon Bonaparte, misalnya, dia bukan orang Prancis. Aslinya dia orang Italia yang lahir dan dibesarkan di sebuah pulau, yaitu Corsica, dari orangtuanya berkebangsaan Italia, hanya saja kemudian mereka pindah ke Prancis.
§  “Karl Marx adalah orang Jerman yang pindah ke London, dan disanalah ia menulis manifestonya yang kemudian disebut Marxisme oleh bangsa Uni Soviet yang mengadopsinya. Marx sendiri bahkan belum pernah menginjakkan kaki di Rusia!”
§  “Hitler pun sebenarnya orang Austria, bukan Jerman.”
§  “Tepat! Sesuatu yang berusaha disembunyikan oleh bangsa Austria. Hitler sangat kecewa kepada tanah kelahirannya sehingga berimigrasi ke Jerman untuk mencari peruntungan di tempat baru. Di sanalah dia mendapat peruntungan besar. Sangat besar.” Samuel merapatkan bibirnya. Ia menegakkan tubuh di kursidan melepaskan batuk yang tertahan, “Dalam banyak kasus, berpindah tempat sangatlah penting. Banyak orang gagal namun berhasil mencapai kesuksesan di tempat lain.”
§  “Dengan kata lain, agar Jerome berpikir lebih positif dan kreatif mengenai alternatif masa depan bisnisnya, maka dia harus pergi ke suatu tempat yang belum dikenalnya.”
§  “Tepat,” Samuel setuju, mengangguk tegas.


~O~O~O~
§  Samuel memuji Jerome atas keputusan itu, member dia beberapa saran, kemudian bertanya, “Apakah kau tau mengapa orang Yahudi selalu menjawab sebuah pertanyaan dengan sebuah pertanyaan?”
§  “Mengapa mereka tidak melakukannya?” Jerome tersenyum.
§  “Tentu saja, semua orang tahu lelucon itu,” Samuel minta maaf. “Tapi serius, ada sebuah filosofi yang mendasari hal ini. Kemarin Eran memberitahuku tentang proyekmu. Dalam perjalanan kembali ke hotel, aku berpikir bahwa salah satu prinsip dasar dari kecerdasan orang Yahudi adalah beban mereka yang lebih berat saat belajar di sekolah. Semua orang memiliki hasrat dasar untuk ingin tahu dan ingin memahami, tapi tidak semua masyarakat memasukkan pendidikan sebagai prioritasnya. Dalam kebanyakan budaya, guru-guru kurang dihargai secara personal maupun keuangannya, bahkan sedikit investasi yang diberikan untuk para pelajar. Kebanyakan mereka beralasan tidak ada uang, tetapi andaikan ada, bagi mereka lebih masuk akal memakai uang itu untuk memperbaiki ekonomi public bukan investasi dalam bentuk buku-buku, ruang-ruang kelas, atau ‘kemewahan-kemewahan’ yang lain.
§  “Orang Yahudi selalu melihat dunia dengan cara sedikit berbeda. ‘Jika kau tidak menderita karena sulitnya belajar,’ demikian Rabi Moses Eben Ezra menulis, ‘maka kau akan sengsara karena kebodohanmu.’ Orang dapat bertahan dengan atau tanpa objek-objek materi, tapi tidak dengan kebodohannya.

~O~O~O~
§  “Engkau benar,” Samuel tersenyum. “Terkadang, adalah hal yang baik ketika kita tidak berpikir, jika seseorang memilih secara sadar untuk tidak berpikir. Tetapi, memilih untuk ‘menderita’ atau tidak merupakan pilihan pribadi kita. Engkau bebas memutuskan apakah memilih merasa bosan dengan pekerjaan memetik tomat, atau ingin berinvestasi mengembangkan pikiran sekaligus memerangi kebosanan. Jauh lebih mudah untuk pulang ke rumah daripada terus bekerja dan ‘menjernihkan pikiran’ di depan televisi. Namun, jika kau memutuskan untuk membaca buku atau mengambil kelas malam, maka dapat dipastikan bahwa otak dan tingkat kecerdasanmu akan berkembang.” Lanjut Samuel sambil menempelkan kembali mug ke bibirnya.
§  “Sampai kita berumur tujuh puluh tahun, pada saat itu tak ada lagi yang bisa membantumu,” tukas Jerome. (Aku tidak mengerti maksud dari perkataannya).
§  “Mhmhm” Samuel nyaris tersedak ketika meneguk minumannya. “Usia tidak ada hubungannya dengan hal itu.”
§  “Tidak ada hubungannya?” Alisku terangkat, merasa heran dan ragu-ragu.
§  “Benar-benar tak berkaitan,” Samuel menegaskan sambil menganggukkan kepalanya dengan perlahan. “Engkau bisa belajar dan mengembangkan pikiran pada usia berapa pun. Konon, Rabi Akiva masih buta huruf sampai dia berumur empat puluh tahun. Baru pada usia itu ia mulai belajar membaca dari anak lelakinya. Robert Frost masih menulis puisi dengan baik sampai umur sembilan puluhan. Dan, ngomong-ngomong soal bisnis,” dia menunjuk ke arah Jerome, “Kolonel Sanders, pendiri Kentucky Fried Chicken, salah satu jaringan makanan siap saji paling sukses di dunia, baru mendirikan KFC dalam usia enam puluhan!”

~O~O~O~
§  “Berapa kali kau melihat selembar plester menutup sebuah luka?” Samuel bertanya pada Jerome. “Ribuan kali, bukan?
§  Jerome mengangguk.
§  “Apakah kau pernah menyisihkan beberapa waktu untuk mempelajari plester itu dan bertanya, apa yang tidak masuk akal mengenainya? Kurasa kau belum pernah melakukannya, karena tidak pernah benar-benar ada alas an untuk member perhatian terhadap sesuatu yang dianggap sudah biasa dan sederhana semacam itu. Dunia telah memiliki plester selama tujuh puluh tahun terakhir, namun baru satu dekade terakhir seorang pria yang kubaca di Time peduli untuk memperhatikan sesuatu yang memang sudah semestinya. Faktanya, semua plester berwarna krem untuk meniru kulit kita. Selama enam puluh tahun, semua orang, apapun kulit mereka, menggunakan plester dengan warna standar tersebut. Mereka begitu saja menerima bahwa memang sudah seperti itulah adanya. Membutuhkan waktu enam puluh tahun hingga seseorang datang dan berkata, ‘Mengapa kita tidak membuat plester dengan warna yang lebih gelap untuk mereka yang berkulit gelap?’ Dan begitulah, baru satu dekade terakhir ini beberapa perusahaan menembangkan konsep plester, dan membuat warnanya berbeda. Bayangkan, enam puluh tahun!
§  “Sederhana, tapi genius!” Aku berseru kagum.
§  “Membutuhkan waktu ratusan tahun lamanya hingga pabrikan saus akhirnya bertanya pada diri mereka sendiri, ‘Mengapa kita harus memukulkan pantat botol untuk mendapatkan dua tetes kecil saus?’ Sehingga, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pabrikan cerdas mulai membuat saus dalam sebuah botol plastik remas, yang berdiri terbalik. Jutaan orang, apapun latar belakang mereka, akhirnya bisa menikmati saus mereka dengan cara lebih mudah.” Samuel tersenyum.
§  “Perasaanku mengatakan bahwa Anda ingin mengungkapkan sesuatu,” Jerome menyahut bijaksana.
§  “Tentu saja. Aku ingin mengatakan padamu bahwa tidak ada alasan untuk membuang-buang waktu dengan memulai sesuatu dari awal kembali. Penemuan-penemuan terhebat manusia selalu hanya merupakan perkembangan dari yang sudah ada. Perkembangan-perkembangan dalam artian bahwa mereka mengambil sesuatu yang sudah ada dan membuatnya menjadi lebih sederhana, lebih mudah digunakan, dan lebih efisien.”
§  Jerome meraih wadah garam, dan mempelajarinya selama beberapa saat. “Coba kita lihat,” ia memulai. Dibolak-balikannya wadah garam itu dan mengamatinya dari berbagai sisi berbeda. :Sebaiknya dibuatkan lubang-lubang yang lebih besar pada wadah ini, sehingga garam di dalamnya tidak terlalu sering menyumbat.”
§  “Lumayan,” Samuel tersenyum.
§  “Dan hal ini, entah bagaimana, kupikir ada kaitannya dengan kecerdasan Yahudi?” Jerome bertanya.
§  “Kurang lebih begitu,” Samuel menyahut. “Kita sudah membahas tentang bangsa Yahudi yang memiliki dan mengembangkan kecerdasan mempertahankan hidup. Kecerdasan itu mengharuskan perhatian yang lebih seksama terhadap semua keadaan yang selalu berubah di lingkungan mereka, mengembangkan kemampuan untuk cepat beradaptasi terhadap segala perubahan, dan pemahaman dasar untuk jangan menerima segala suatu sebagai hal yang memang sudah seharusnya. Singkatnya, bangsa Yahudi selalu berusaha menegakkan pikiran mereka yang terbuka. Mereka memiliki perasaan yang sangat tajam berkenaan dengan apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Pemikiran terbuka ini membuat mereka memiliki sebuah pemahaman penting-tak perlu membuang-buang waktu dengan melakukan sesuatu mulai dari awal kembali. Gunakan saja cara yang paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khususmu.

~O~O~O~
§  “Sebagian besar orang tidak berpikiran terbuka terhadap gagasan baru,” ujarku. “Jika dua orang sedang mengobrol, akan Anda sadari bahwa kenyataanya kedua orang itu hanya ingin mendengarkan perkataan dirinya sendiri. Aku pun terkadang masih melakukan kesalahan itu.”
§  “Kita semua memang begitu,” Samuel mengaku. “Konsep diri adalah, selalu merasa yang paling berhasil dan paling benar, dan kebenaran kita adalah kebenaran absolute. Itu masalahnya…” Beberapa saat dia tersenyum, dan kemudian melanjutkan, “Sebagaimana yang dulu dinyanyikan oleh Frank Sinatra sang legenda, ‘I did it my way… and that was exactly a problem.’”Samuel memberi tambahan pada lirik lagu itu.
§  “Lihatlah para pekerja medis,” ia melanjutkan. “Sebuah pengobatan baru ternyata memerlukan waktu dua puluh tahun untuk bisa sampai dan dapat digunakan oleh publik, yaitu waktu lima tahun untuk mengembangkanya, dan lima belas tahun lagi untuk meyakinkan para dokter agar menggunakannya.”
§  “Peliharalah pemikiran terbuka,” Jerome meringkas.
§  “Berpikir terbuka menghemat waktu, uang, dan usaha,” ujar Samuel. “Dalam pasar penawaran dunia, kau tidak perlu berkeliling terlalu jauh untuk menemukan penawaran atau gagasan baru. Ada pasar, bahkan berlimpah, tepat dibawah hidung semua orang. Orang hanya perlu menunduk untuk tahu apa yang ada di sana, kemudian berusaha mengembangkanya, meningkatkan mutu, atau mengambil apa yang mereka temukan di tempat-tempat lain. Itu saja.”

~O~O~O~
§  “Tetapi Anda sering bepergian jauh?” Jerome bertanya lagi, memperlihatkan ketidaktahuannya tentang pemikiran seorang ayah.
§  “Rata-rata dua kali sebulan. Aku berupaya untuk tidak lebih lama dari itu, walaupun kadang-kadang tak terelakkan,” paparnya. “Aku pernah membaca tentang seorang pengusaha Amerika yang diwawancarai, dia mengatakan bahwa keberhasilan didasarkan pada dua keputusan penting. Pertama, engkau harus memutuskan secara spesifik apa yang ingin kau lakukan. Kedua, kau harus menentukan berapa harga yang harus kau bayar untuk keberhasilan keputusan tersebut. Terkadang, aku harus membayarnya dengan tidak berkumpul dengan anak-anakku, tapi tidak apa-apa. Aku tahu ada orang-orang yang jauh dari rumah selama berminggu-minggu. Aku pun mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga jika lokasi pekerjaanku tidak terlalu jauh. Saat ini, aku bekerja sedikit dan menghasilkan sedikit lebih banyak.”
§  “Itu ambisi terbesarku,” Jerome menarik napas panjang. “Anda harus menceritakan rahasianya.”
§  Dengan wajah puas, Samuel menepuk bahu Jerome, “Kau bisa menghadiri puluhan seminar  manajemen waktu, manajemen strategi efektif, manajemen personalia, strategi pemasaran, dan sebagainya, tapi tetap pengalaman adalah guru yang terbaik. Tak ada yang lebih pintar daripada orang yang belajar dari pengalaman.
§  “Setuju. Mungkin kau dapat melakukannya, tapi banyak orang yang benar-benar tak mampu mewujudkannya menjadi kenyataan. Bukankah begitu?” Aku menjelaskan kepada Jerome.
§  “Maksudnya?” Tanya Jerome
§  “Apakah kau sudah benar-benar belajar dari kemampuan orang lain?”
§  “Mengapa tidak?”
§  Samuel menengahi, “Karena berbagai alasan, kebanyakan orang hanya belajar dari keberhasilan atau kegagalan dirinya sendiri, bukan dari pengalaman orang lain. Bahkan, hal itu juga terjadi pada orang yang diakui paling berhasil dalam mengubah dan mengadaptasi sesuatu, bahkan sampai masa sekarang, masih saja berulang. Intinya adalah, sangat baik belajar dari pengalaman sendiri, tapi ingat, engkau sudah kehilangan sesuatu yang tak sanggup kau ganti-waktu. Apakah aku benar?”
§  “Benar sekali,” aku sepakat.
§  “Bayangkanlah bahwa sudah ada satu cara untuk mempercepat kurva pembelajaran. Bayangkan jika engkau bisa mencapai sesuatu dalam sekejap, padahal orang lain memerlukan perjuangan bertahun-tahun untuk mempelajari sesuatu itu! Cukup dengan merekontruksikan kesuksesan orang lain, tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkannya.”
§  “Kedengarannya hebat.”
§  “Pikirkanlah hal berikut ini,” lanjut Samuel dengan antusias. “Hasil luar biasa selalu dicapai dengan cara yang luar biasa. Maka, yang harus kau lakukan adalah belajar dari tindakan yang sama dan menerapkannya dengan cara yang sama pula. Pertanyaannya bukan, mampukah aku mencapai kesuksesan yang sama. Tetapi, bagaimana cara melakukannya. Kita sedang membicarakan strategi untuk memilih orang yang tepat untuk dijadikan panutan.”
§  “Itulah jenis imitasi yang sedang kita bicarakan, bukankah begitu?” Aku mengomentari.
§  “Bukan sekedar imitasi, tapi lebih dari itu. Cara ini disebut replikasi, reproduksi sebagai tujuan akhir. Engkau harus meniru semua perilaku subjekmu. Bagaimana dia berbicara, bagaimana dia berpikir, bagaimana dia mengatur dirinya, serta semua aktivitasnya.”

~O~O~O~
§  “Benar,” Samuel merespons. “Tapi ada yang ingin kutambahkan, karena ide ‘temukan seorang rabi untuk dirimu’ ada tambahannya dengan perspektif yang lebih penting.”
§  Dia terus berjalan tanpa sepatah kata pun, lalu berpaling pada Jerome, “Apakah kau pernah mengagumi seseorang? Maksudku bukan sekedar menghargai, tapi benar-benar mengagumi!”
§  “Ada dua orang,” dengan cepat Jerome menjawab. “Dr J., bintang basket Philadelphia tahun 1967 dan Freddie Mercury, vokalis grup Queen.”
§  “Lalu bagaimana kau mengungkapkan kekagumanmu?”
§  “Kutempelkan poster mereka di dinding kamarku. Aku membeli buku tentang mereka dan membaca autobiografi mereka, tentu saja, aku punya semua album Queen.”
§  “Apakah engkau pernah melihat Dr J. bermain basket?”
§  “Tiga kali”
§  “Apa yang terjadi setelah setiap permainan?”
§  “Aku pulang dan melemparkan beberapa bola untuk memompa semangat.”
§  “Apakah engkau pernah melihat Freddie Mercury sedang konser?”
§  “Pernah sekali, di Wembley.”
§  “Apakah menyenangkan?”
§  “Sangat menyenangkan,” gelombang nostalgia merasuki Jerome.”Aku merasa seperti berjalan di atas awan dalam minggu itu.”
§  “Mengapa?”
§  “Mengapa? Karena aku menyukai suara Freddie, dan dia adalah penyanyi yang sangat bagus. Belum lagi lagu-lagunya yang hebat.”
§  “Mengapa engkau menyukai lagu-lagunya?”
§  “Pertanyaan macam apa itu?” Jerome menatap Samuel sejenak. “ Lagu-lagu yang sangat indah, mereka menggerakkan aku.”
§  “Dan bagaimana penampilannya memengaruhimu?”
§  Jerome memikirkan pertanyaan Samuel beberapa saat. “ Kau tahu… Dia membuat suasana hatiku menjadi baik. Aku merasa puas.”
§  “Apa kau ingat dampaknya terhadap hal khusus yang kau lakukan minggu itu?”
§  Jerome berpikir sebentar. Sebuah senyum perlahan mengembang di wajahnya, “Ya. Aku mengikuti salah satu tes kemampuan di sekolah menengah. Bahasa Inggris. Aku melewati tes tersebut dengan baik. Dan… aku sepertinya harus mengingat kembali… Aku juga mendapat ide untuk mengencani seorang perempuan pirang cantik di tahun ketiga kelas matematikaku. Namanya Allison Greenberg. Anda tahu mengapa aku mengingat semua ini? Tidak, lupakan saja. Ini sangat memalukan.”
§  “Oh, ayolah. Engkau tidak bisa berhenti sekarang,” desak Samuel.
§  “Aku sangat ingin menjadi Freddie Mercury, dalam beberapa hal aku merasa benar-benar sudah menjadi sia. Kubayangkan semua perempuan menginginkan aku seperti gadis-gadis itu yang sangat menginginkan Queen. Kalian akan tertawa, tapi hal ini benar-benar membantuku. Tiba-tiba kepercayaan diriku meningkat. Hal ini cukup membuat gempar karena akhirnya Allison Greenberg mau kencan denganku.”
§  “Kemudian apa yang terjadi dengannya?” Aku ingin tahu.
§  “Tidak ada,” Jerome menundukkan kepala dan tersenyum malu. “Aku mencoba menyanyikan lagu ‘We are the Champions’ dan menyadari band kami bukan Queen.”
§  Samuel menyebrangi jalan menuju sesuatu yang kelihatan seperti taman besar yang sekelilingnya ditutupi oleh tembok besar.
§  “Itulah yang sedang kita bicarakan,” katanya.
§  “Tapi, Anda tahu, Anda benar sekali,” Jerome berseru nyaring. “Hal itu sangat menginspirasi. Ya, sangat menginspirasiku.”
§  “Tentu saja,” Samuel membenarkan. “Engkau telah terinspirasi. Engkau telah ‘menjadikan dirimu seorang rabi’,” Samuel membuat tanda kutip di udara, “dalam arti figurative karena Freddie Mercury bukanlah rabi. Bagaimanapun, lagu-lagu dan kepribadiannya berpengaruh posituf padamu. Tepatnya, inilah yang sedang aku bicarakan.”
§  Samuel yang pertama masuk melalui gerbang kebun bertembok itu. Kami mengikutinya.
§  “Dari perspektifku, ungkapan ‘jadikan dirimu seorang rabi’ berarti lebih dari sekadar meniru seseorang. Engkau harus mencari orang yang akan menginspirasimu dalam cara yang sama dengan apa yang terjadi padamu dan Freddie Mercury. Inspirasi menanamkan kepercayaan diri. Membangunkan keyakinan dan kekuatan di dalam diri tanpa kita sadari. Membantumu menjadi yang terbaik. Dengan kata lain, inspirasi adalah langkah awal, inspirasi menjadi bahan bakar dan energi yang dapat kau gunakan ketika sesuatu berjalan buruk. Seperti ketika kau ingin melempar bola basket dan ingin menjadi Dr J. aku yakin malam itu engkau menyelami basket lebih daripada biasanya.”
§  “Anda benar,” Jerome tersenyum bahagia.
§  “Aku lemah dalam bermain piano,” Samuel mengaku. “Setelah menonton sebuah konser yang bagus, aku pulang dan duudk di depan Steinwayku, sangat terinspirasi, memijit tuts piano, sangat alami, simfoni seperti mengalir penuh dari jari-jemariku.”
§  “Aku sangat menyarankan untuk menggunkan sumber energy seperti itu. Sebuah sumber inspirasi tidak selalu harus menjadi rabi. Bisa menjadi penulis, professor, atau atlet. Intinya adalah bahwa seseorang itu haruslah orang yang kau kagumi dan berprestasi.”

~O~O~O~
§  “Di sekolah biasa, para siswa hanya duduk tenang di kelas mendengarkan gurunya, atau di perpustakaan mengacak-acak buku atau makalah. Di yeshiva, para siswa ‘meletus’ dan ‘meledak’ dalam proses pembelajaran Taurat. Mereka akan menggunakan segenap energi yang dimiliki dengan melibatkan seluruh organ tubuh, dan yang paling utama adalah-bicara keras-keras! Engkau harus menyuarakan dengan keras apa pun yang sedang kau pelajari, sebenarnya pada saat itu kita sedang mengaktifkan kedua sisi otak, meningkatkan daya penerimaan, konsentrasi, juga ingatanmu.”

~O~O~O~

§  “Apa kau bilang? Maksudmu otakku kurang oksigen saat aku sedang duduk?” gurau Jerome.
§  “Sebenarnya, ya,” imbuh Itamar. “dan tidak hanya saat kau duduk. Jumlah oksigen di udara sudah berkurang karena polusi. Saat ini, jumlah oksigen di daerah pusat kota kira-kira 50%, dan 70% pada awal abad 20. Itulah sebabnya mengapa banyak penduduk pinggiran kota yang menderita migren, alergi, mudah letih atau penyakita lainnya. Semua itu mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi, memperhatikan, dan berpikir pada tingkat tertentu. Agar mampu berpikir lebih efektif, seseorang memerlukan oksigen lebih pada otak, dan cara yang baik untuk mencapainya adalah dengan gerakan-gerakan fisik seperti berjalan, berdiri, dan berenang yang meningkatkan aliran darah ke otak. Beberapa orang bahkan menyarankan melakukan berdiri dengan kepala sebelum belajar."

~O~O~O~

§  Itamar berdiri dan bergerak mendekati Jerome. “sini, cobalah… ikuti instruksiku,” Itamar memulai, “Coba tanganmu di samping.”
§  Jerome meletakkan minumannya, menegakkan badan dan mengulurkan tangannya ke samping.
§  “Bagus. Sekarang, angkat kepalamu dan tatap puncak pohon-pohon itu.”
§  Jerome melakukan apa yang dikatakannya.
§  “Tersenyumlah.”
§  Jerome, sangat terhibur dengan semua itu, dan dengan mudah menurutinya.
§  “Sekarang, katakana dengan lantang, sambil tetap tersenyum, ‘Aku merasa buruk sekali. Aku sedang dalam suasana hati yang buruk’.”
§  Jerome menelan ludah, menarik napas dalam-dalam untuk menahan tawanya, dan sambil terus tersenyum berusaha mengucapkan hanya, “Aku merasa bur…,” sebelum ia tertawa terbahak-bahak.
§  “Kau lihat,” Itamar terkekeh. “Kau tak bisa melakukannya.”
§  “Aku benar-benar tak bisa,” Jerome mendesah sambil menghapus air matanya.

~O~O~O~

§  `”Untuyk keperluanmu, Jerome, menyederhanakan maksudnya adalah membaca secara teratur dan menulis ringkasan sederhanya. Petunjuk maksudnya kata kunci-kata kunci, tanda-tanda memori yang akan memberikan petunjuk mengenai gagasan-gagasan lain, seperti tanda-tanda memori dalan Judaisme.” Ia berhenti untuk minum…
§  “Apa yang kau maksud tanda-tanda memori?” aku bertanya.
§  Schneiderman berhenti sejenak untuk mencari contoh. Tiba-tiba sebuah gagasan muncul di benaknya.
§  “Tanda-tanda memori adalah alat bantu yang ketika kau melihatnya, maka kau akan mengingat hal-hal lainnya.” Ia meluruskan badan dikursinya.

~O~O~O~

§  “Dalam kitab Kuzari, Rabi Yehuda Halevi berbicara tentang ‘indra bersama’. Kuzari, Ibid, 90,84 (7). Indra ini memungkinkan untuk mengairkan banyak hal dalam tempat dan waktu tertentu untuk memperbarui, merangsang, dan membangkitkan memori. Misalnya, lidah mengindrai rasa dan mata melihat berbagai warna. Lidah merasakan rasa manis madu meskipun tak dapat meihat warna emasnya. Dan, meskipun mata dapat melihat warna, tapi tak dapat melihat sensasi rasanya. Indra bersama, dengan katra lain, menjembatani jurang antara indra-indra yang berbeda. Ketika mata melihat madu dan pikiran memutuskan dapat melihat rasa manis sama halnya ketika mata melihat salju, sensasi dingin mengirimkan getaran ke seluruh tubuh. Karena satu indra merangsang indra yang lainnya maka gagasannya adalah menciptakan rantai ide atau kata kunci yang akan mendorong dari satu kata kunci kepada kata kunci yang lainnya.” Ia berhenti untuk mengusap mulutnya dengan saputangan. “Rabi Aryeh dari Modena menyarankan untuk menciptakan sebuah cerita bersama untuk menghubungkan setiap kata.”
§  “Asosiasi cerita,” aku menjelaskan kepada Jerome.
§  “Begitukah caramu dapat mengingat semua kata kunci dari ringkasan Jerome?” aku bertanya pada Schneiderman yang telah menjalin jari-jarinya dan meletakkan tangannya di atas meja.
§  “Untuk mengingat semua kemungkinan keuangan bisnis, aku membayangkan keseluruhan topik tentang keuangan bisnis itu, dan aku melihat di depan mataku mesin ATM di seberang bengkel kerja jahit bibiku di Bnai Barak,” ia berhenti untuk melihat apakah kami mengerti yang ia bicarakan.
§  “ATM mewakili keuangan, dan bengkel kerja jahit=bisnis,” Jerome menjelaskan sambil tersenyum. “Luar biasa.”
§  Dan Schneiderman menambahkan, “Sekarang aku membayangkan duduk di ruang depan bengkel kerja jahit, di sebelah mesin ATM, ada warung berwarna cokelat terbuat dari kain tebal dan kasar. mesin ATM itu tidak berfungsi. Ribuan keping koin emas berjatuhan darinya, mengalir langsung ke karungku, yang tentu saja dengan seraha sedang kupegangi erat-erat.”
§  “Tabungan pribadi,” Rabi Dahari menjelaskan, meskipun dengan nada yang ditujukan kepada dirinya sendiri.
§  “Karena karung itu sangat berat, Shlomo, mitra, dan hevrutahku datang untuk membantu. Dengan bantuannya aku mampu mengangkat karung itu dan kami mulai menyusuri jalan ketika tiba-tiba kami dirampok.” Ia mengangkat tangannya ke kepala. “Kemudian, dari sisi lain jalan itu, sangat tak terduga, seekor burung manyar(vulture) besar menukik menuju kami, merebut kantung itu dan melemparkannya pada sang pemiliknya. Jendral Grant, yang dengan cepat menghilang membawa uang itu. Shlomo mulai mengejarnya namun dia tertabrak mobil. Sehingga aku tinggal sendirian di sana.” Ia melipat tangannya, tersenyum malu sambil menyandar di kursinya. “Begitulah semuanya terjadi.”
§  Kami bertiga hanya bisa memandangi di terkagum-kagum
§  “Tampaknya kau diberkati imajinasi yang luar biasa,” rabi terheran-heran.
§  “Sungguh, Josik,” Jerome berujar dengan antusiasme yang terpancar pada suaranya, “Apa yang kau lakukan menghabiskan waktumu di yeshiva. Kau seharusnya menulis naskah Hollywood atau semacamnya. Kau bisa jadi Steven Spielberg dari komunitas ortodoks.”
§  Pipi pelajar muda itu pun memerahi seluruh kepalanya.
§  “Baik, tapi kau harus mengakui bahwa cara ini memang berhasil,” aku berkata pada Jerome dengan nada serius, hamper menuntut.
§  “Cara beginikah yang selalu kau lakukan selaman ini?” Itamar bertanya. “Hal itu membutuhkan imajinasi aktif dan banyak sekali usaha untuk mendapatkan cerita yang sama sekali baru setiap waktu, belum lagi waktu yang diperlukan.”
§  “Sebenarnya, tidak sama sekali,” Schneiderman mencoba menenangkan Itamar, “Aku sebenarnya membayangkan semua itu pertama kali sejak kalian mendiskusikan topik-topik itu.”
§  “Persoalan utamanya adalah, bagaimana agar membiasakan teknik ini hingga menjadi kebiasaan yang alami pada diri kita,”aku menambahkan berdasar pengalaman profesionalku sendiri. “Sekarang ini, tampaknya memang butuh banyak sekali upaya mental, tapi pada akhirnya hal itu dapat menghemat waktu dan memungkinkanmu untuk menguasai materi yang lebih banya dalam waktu yang sedikit.”
§  “Tepat sekali,” Schneiderman melanjutkan pemikiranku. “Karena sebenarnya kita sudah menyimpan informasi itu di kepala dengan lebih teratur. Dengan cara ini maka kau terbebsa dari keharusan mengkaji ulang materi tersebut berkali-kali agar tertanam dalam memorimu. Sebuah cerita yang sangat kuat, maka hasilnya akan luar biasa efektif.”
§  Itamar masih sangat skeptic. Dia meoleh ke arah Jerome untuk melihat reaksinya.
§  “Jika kau bertanya padaku, menurutku itu sepertinya cara belajar yang bagus sekali,” Jerome berujar, seolah-olah menjawab apa yang sedang dipikirkan Itamar. “Tak ada keraguan dalam pikiranku, aku akan mencobanya.” Ia tersenyum dengan wajah puas.

~O~O~O~

§  “Dalam traktat Sanhedrin tertulis, ‘ Setiap pelajar Taurat yang tidak kembali padanya seperti orang yang menabur benih namun tidak memanen hasilnya.’ Sanhendrin 79,1 (14). Semua yang sudah dipelajari harus diulangi dan dibaca kembali berulang-ulang hingga terkuasai sepenuhnya,” Schneiderman menjelaskan.
§  “Betul,” Itamar setuju. “Pengulangan adalah salah satu elemen yang paling penting dalam mengingat banyak hal untuk jangka waktu yang panjang.”
§  “Dalam mempelajari Taurat,” pelajar itu melanjutkan. “Keseluruhan tujuannya adalah pengulangan. Karena hanya dengan cara mengulang, sesuatu akan bertahan di kepalamu. Jadi jika kau tidak menelaah kembali materi itu, kau tak akan menguasainya. Jika kau tidak mengingatnya maka kau telah menyia-nyiakan waktu dan tenaga. Sebuah pepatah mengatakan, ‘Seseorang dapat mempelajari Taurat selama dua puluh tahun dan melupakannya dalam dua tahun.’.”
§  “Itulah mengapa,” Rabi Dahari menambahkan, “setiap tahun kami selalu mengulang dan mempelajari kembali teks-teks suci. Setiap tahun kami kembali membahas setiap bagian Taurat, Mishnah dan hukum kerabian. Setiap tahun, lagi dan lagi, selamanya.”
§  “Demikian pula hafalan,” Schneiderman melanjutkan, “Dapat diulang dengan menggunakan dua metode berikut, pertama adalah, memberi dan menerima. Gagasan utama belajar menghafal adalah memberi dan menerima, yaitu diskusi mengenai pertanyaan dan jawaban, menjadikannya lebih efektif dengan mengulangi proses tersebut lima kali sampai orang tersebut dapat melakukannya sendiri. Jika seseorang hanya bisa belajar sendirian, maka belajarlah dengan suara lantang dan berlagu.
§  “Berlagu?” Jerome mengulanginya. “Apa maksudnya? Kau harus menyanyikan materinya?” ia tak percaya pada apa yang baru didengarnya.
§  “Begitulah maksudnya,” pelajar itu membenarkan. “Dalam Megila dikatakan, ‘Siapa pun yangmembaca tanpa nada dan membunyikan tanpa lagu, kalimat-kalimat itu tak akan menjadi hidup baginya.’,” Dan kemudian ia melanjutkan, “’Orang yang belajar dengan lagu akan mengingatnya lebih baik.’.”
§  “Kau benar-benar belajar dengan menyanyi?” Jerome bertanya dengan keraguan yang kental pada suaranya.


~O~O~O~

§  Itamar mengayunkan tubuh ke depan dan ke belakang di kursinya, terlihat sedikit tidak nyaman. Fakta bahwa hafalan masih harus diulangi membuat dia tidak nyaman. “Aku tak mengerti,” ujarnya. “Jika kau dapat menggunakan imajinasi, menciptakan simbol-simbol beserta kaitannya, dan membuat cerita-cerita, lalu mengapa masih harus mengaji ulang semuanya… bagiku tampaknya itu membutuhkan waktu bertahun-tahun! Mengapa tak hanya berlatih dan mengaji kembali catatan yang sudah ada tiga atau empat kali dan selesai sampai sini? Menghafal dua puluh buku menggunakan metode ini tampaknya merupakan sulit yang membutuhkan waktu yang tak habis-habis… dan untuk apa?”
§  Schneiderman terdiam, mencari penjelasa yang dapat meredakan kekhawatiran Itamar.
§  “Mungkin bisa kujelaskan,” aku menawarkan diri. “MAteri-materi studi itu seperti pemandangan. Ketika kau menatapnya, selalu ada banyak hal menarik perhatianmu, apakah itu atap berwarna merah, pagar yang ditumbuhi tanaman, pohon, bukit… itu adalah tanda dan isyarat-isyarat yang menarik perhatian matamu dan melekat dalam memorimu. Ketika kau membaca sebuah tulisan, pilih kata kunci yang sesuai dengan ide atau topik utamanya. Setelah itu catat daftar semua kata kunci itu dan kaitkan sebuah cerita yang asosiatif. Memang terdengar rumit, namun kau akan terkejut ketika kau sungguh-sungguh dapat mengingat ratusan kata-kata dalam waktu satu jam! Kau mungkin tak percaya padaku saat ini karena kau belum pernah mencobanya! Masalahnya di sini, kebanyakan pelajar di dunia melakukan tepat seperti yang tadi kau katakan… mereka membaca dan mengkaji sesuatu sepuluh atau dua puluh kali, lalu menyerahkan sisanya pada keberuntungan. Apa pun yang mereka tangkap, dan apa yang tidak mereka tangkap, ‘oh, tak apa-apa, setidaknya sebagian besar aku masih mengingatnya.’ Tapi itu adalah kesalahan. Sedangkan, jika belajar menggunakan cara Joseph Hayim, kau menciptakan situasi sehingga tak satu pun yang kau lupakan dalam ujian… maksudku bisa saja itu terjadi, tentu saja, tapi tidak terlalu sering. Alasannya adalah, karena kau bekerja secara sistematis. Setiap kata kunci mengingatkanmu pada ide tertentu yang dapat kau uraikan dengan banyak kalimat dalam satu halaman… coba saja.” Aku menyimpulkan penjelasanku.
§  “Otak manusia memiliki ruang penyimpanan yang tak terbatas,” Schneiderman melanjutkan, “Seperti laut tak bertepi yang mampu menyerap jutaan bahkan miliaran ide dan konsep. Semua hal yang pernah kau lihat, dengar atau kau pikirkan dalam hidupmu, semua ide… semuanya. Semua masuk ke dalam otak dan menjadi bagian permanen dari memori. Semua ide itu dapat digali kembali bantuan pompa memori yang secara harfiah digunakan ribuan kali dalam sehari. Terkadang hal itu lebih sulit, terkadang lebih mudah, tergantung bagaimana seseorang memasukkan informasi itu ke dalam memorinya sebagai hal yang penting, apakah kau membiarkannya dengan sendirinya masuk ke dalam kepalamu, maksudnya informasi itu menempatkan dirinya sendiri dalam laci secara acak, atau kau menyimpannya dalam laci tertentu. Laci yang kau kunci dengan kunci khusus hanya cocok dengan laci tersebut, itulah hubungan atau simbol yang aku bicarakan. Semuanya terserah padamu.” Ia mengakhiri.
§  Tapi kemudian ia menambahkan lagi pemikirannya. “Fakta bahwa itu merupakan pekerjaan yang mungkin untuk dilakukan, tidaklah diragukan lagi. Seseorang dapat mengingat begitu banyak hal dengan metode-metode ini… atau mungkin lebih baik mengatakannya dengan cara lain. Satu-satunya keraguan yang ada adalah keraguanmu sendiri! Hanya keberatan mental kita yang membebani dan membuat kita berpikir bahwa itu pekerjaan yang sulit.” Ia berhenti dan menggelengkan kepalanya, “Sepeti yang tadi dikatakan Eran… coba saja. Diperlukan latihan sampai hal itu menjadi kebiasaan alami. Seperti belajar bahasa baru yang pada akhirnya akan menghemat waktumu dan secara nyata mengurangi kaji-ulang yang perlu kau lakukan.”
§  Itamar memutar-mutar jemarinya menganggukkan kepala. “Kau benar. Faktanya aku memang belum pernah mempraktikkan itu. Dan kelihatannya saja memerlukan banyak usaha untuk melakukannya. Tapi jika kau benar… mungkin aku hanya perlu mencobanya satu kali.”
§  Jerome menepuk bahu Itamar, “Tidak Itamar! Jangan mencobanya,” Jerome memperingatkan. “Kau adalah seorang professor perguruan tinggi. Dinosaurus yang memiliki jabatan. Banyak professor sebelum dirimu telah mencoba cara berpikir mereka, dan mereka menderita cedera otak sampai hari ini.”

~O~O~O~

§  “Kalau kau menggunakan metode Yahudi, yang harus kau lakukan adalah memasukkan kata-kata bahasa Spanyol ke dalam percakapan sehari-harimu dalam bahasa Ibrani.” Fabio menggosokkan kedua tangannya. “Sebagai contoh,” ia menggaruk dagunya, “Mari kita lihat kata dinero, artinya uang dalam bahasa Spanyol. Pikirkan berbagai kalimat dalam bahasa Ibrani di mana kau akan membicarakan uang, namun ganti kata uang-nya dengan kata dinero.
§  Berapa banyak dinero yang kau miliki? Aku perlu meminjam dinero $50. Satu-satunya hal yang harus kau perhatikan hanyalah dinero, dinero, dinero. Dia sangat materialistis, dia orang kaya. Dia memiliki banyak dinero di bank..”
§  “Baiklah, sekarang mari kita masukkan kata lainnya, humbre artinya ‘orang’.”
§  Benar-benar hombre yang baik hati. Dia menolongku meperbaiki mobilku… lihatlah hombre yang di sana… yang memakai topi merah?”
§  Kau tahu, hanya dengan melihat pakaiannya aku bisa tahu bahwa hombre itu punya banyak dinero,” Jerome menimpali.
§  “Tepat sekali! Begitulah gagasannya,” Fabio bersorak. “Setiap saat masukkan satu atau dua kata ke dalam kalimat. Kaya adalah rico dalam bahasa Spanyol.”
§  Benar-benar hombre rico, dipenuhi berbagai kelebihan dalam hidupnya,” Jerome memperlihatkan pemahamannya terhadap konsep itu.
§  Qiero artinya ‘Aku ingin’. ‘Qiero kedamaian di dunia, Qiero kesehatan bagi kelurgaku, Qiero kue yang enak. Itulah yang benar-benar aku  Qiero  saat ini.”

~O~O~O~

§  “Kata Spanyol piedro artinya batu. Maka, yang harus kau lakukan adalah membayangkan bahwa kau menggosok batu sampai menjadi bubuk. Gambaran batu menjadi bubuk inilah yang akan mengingatkanmu kepada piedro. Carta adalah bahasa Spanyol untuk ‘huruf’. Apa yang kau ingat saat mendengar kata carta?”
§  “Ensiklopedia Encarta,” kata Jerome.
§  “Bagus sekali. Jadi bayangkanlah dirimu menyimpan semua suratmu dalam ensiklopedia. Bagaimana dengan bomber, bahasa Spanyol untuk pemadam kebakaran. Asosiasi macam apa yang dapat kau ciptakan dari sana?”
§  “Bom,” jawab Jerome dengan cepat. “Sebuah bom menyebabkan kebakaran besar yang harus dipadamkan segera oleh pemadam kebakaran,” ia menjabarkan gambarannya dengan terburu-buru.